Senin, 04 Januari 2016

contoh makalah Filsafat Hukum




TUGAS INDIVIDU
FILSAFAT HUKUM
(Contoh Riil Kasus Hukum yang diselesaikan dengan Filsafat Hukum)





Erni Kuswulandari Suwarno               12401241003 
PKnH “A” 2012




FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014/2015


KASUS RAJU’: PERKELAHIAN HINGGA MASUK PENJARA
Posisi Kasus
Karena berkelahi di sekolah masuk tahanan dan disidang. Anak yang belum lagi berusia 9 tahun ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya. Sementara itu kasus ini terus berjalan dengan dalih mengikuti prosedur. Apakan prosedur bisa mengalahkan hati nurani? Ternyata pula ada unsur korupsi dan “peradilan hitam” di balik kasus ini.
Sebenarnya siapakah Raju? Bocah kelas tiga SD bernama lengkap Muhammad Azuar itu hanya anak desa biasa. Kasus Raju memang membuat kita terhenyak. Bagaimana mungkin anak di bawah umur itu didudukkan sebagai pesakitan di persidangan, dipaksa menyimak tuntutan, dan ditahan bersama para tahanan dewasa? ‘’Aku lihat mereka pakai baju hitam, di lehernya warna merah,'’ kata Raju, saat menggambarkan pakaian Tiurmaida Pardede, hakim tunggal yang mengadilinya.
Persoalannya sebenarnya sederhana, perkelahian antarbocah yang dimulai dari olok-olok (Bullying). Raju sendiri tidak lebih dari anak nakal, sebagaimana dibenarkan bocah-bocah desa itu. ‘’Wah, Raju dan abangnya itu sering memukuli kita. Coba tanya anak-anak di sini, pasti mereka pernah di-tokoki(dijitak) olehnya,'’ kata anak-anak itu. Kebiasaan Raju itu juga yang membuat perkara. Akibat adiknya, Iswandi, tidak mau bersekolah karena sering dijitak Raju, Armansyah (Eman) pun terlibat perkelahian dengan penjitak kepala adiknya itu, meski memiliki usia di atas Raju, Eman, anak penderas nira itu, kalah otot dibanding Raju yang dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan.
Wajar saja jika Eman malah ditindih Raju, dan perutnya berkali-kali dihajar lutut adik kelasnya itu. Usaha damai pun sudah dilakukan, Saidah sendiri membenarkan, pada 31 Agustus sore, tahun lalu, rumahnya dikunjungi Ani Sembiring dan anaknya, Eman. Saat itu Ani memberitahukannya soal perkelahian itu. Raju mengakui, perkelahian itu terjadi karena dia terus diejek Eman. ‘’Raju juga luka-luka. Bibirnya sampai pecah, kok,'’ kata Saidah. Saidah mengaku membawa Eman berobat. ‘’Saya sampai keluar uang Rp 75 ribu,'’ kata dia. Hanya, saat Ani dan Eman datang lagi esok harinya, ia mengaku menolak. ‘’Saya tak kasih karena tak sanggup penuhi itu,'’ kata dia. Saidah juga mengatakan, saat itu Ani mengancam akan melaporkan Raju ke polisi. 1 September 2005, dengan sepengetahuan Kepala Desa Paluh Manis, Syamsir Siregar, Ani melaporakn Raju ke polisi. Saidah juga mengaku pernah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pada 3 September 2005 lalu, di Polsek Gebang, Langkat. Saat itu, ia menjelaskan, Raju lahir pada Mei 1997. Jadi ketika perkelahian terjadi, Raju berusia 8 tahun 3 bulan.
Pihak Polsek dan aparat desa pun bukan tanpa usaha mendamaikan. Sayang, tak kunjung berhasil. Awalnya, Ani hanya meminta ganti uang pengobatan kepada keluarga Raju sebesar Rp 500 ribu. Itu pun ditolak Saidah, dengan alasan tak punya uang. Ketiga kalinya, pada 27 Oktober 2005, upaya perdamaian ketiga dilakukan dengan bantuan LSM setempat. Saat itu pihak LSM mengajukan biaya pengobatan ke pihak Saidah-Sugianto sebesar Rp 3 juta (gila, anak berantem aja minta 3 juta). Tentu saja, upaya damai dengan dana yang lebih besar itu ditolak Saidah. Rupanya, berkas terus mengalir ke Kejaksaan Negeri Langkat. Sesuai hasil pemeriksaan anggota Badan Penelitian Kemasyarakatan untuk Sidang Pengadilan Anak (BAPAS), Armin Silalahi, menerangkan Raju bisa diproses di persidangan. Keterangan BAPAS menyatakan, ‘’Apabila terbukti bersalah, agar dapat diberikan tindakan dengn dikembalikan kepada orang tua, dengan pembimbingan diserahkan kepada BAPAS kelas I anak, orang tua, kejaksaan, serta aparat setempat, mengacu pada UU Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak'’. Akhirnya, JPU dari Kejaksaan Negeri Stabat, Langkat, AP Frianto, melimpahkan berkas itu ke pengadilan. Raju dijerat pasal 351 KUHP soal penganiayaan. Persidangan bagi anak dilakukan secara tertutup dengan hakim tunggal Tiurmaida Pardede.
Kasus yang seharusnya diselesaikan dalam keluarga dan sekolah diperpanjang hingga pengadilan. Pengadilan pun tidak melihat kasus ini cacat hukum dengan mesidangkan anak di bawah umur (bahkan sempat menahannya bersama dengan tahanan orang dewasa). Lantas kemana nurani sehingga mengalahkan kepentingan prosedur dan keadilan? Keadilan macam apa?

Analisis
Sidang Raju’ yang Cacat
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:
1.      Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2.      Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak sebagaimana telah dipaparkan diatas  ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain,  Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak(protection child and  fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak.  Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya  dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.  Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua.
Sehubungan  dengan hal ini, criminal justice system memiliki tujuan untuk :  (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial).
Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil dan emosional, maka penanganan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak perlu mendapat perhatian khusus, yang dimulai dati hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana khusus untuk anak yang berkonflik dengan hukum, hak dan kewajiban yang diperoleh anak yang berkonflik dengan hukum, dan bagaimana penanganan yang diberikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, Undang-undang No.3 Tahun 1997 memberikan landasan formil-juridis dalam pembentukan 1embaga Peradilan Anak sebagai lembaga Peradilan Khusus yang berada dalam ruang lingkup Peradilan Umum.
Banyak anak yang berkonflik dengan hukum ternyata mendapat perlakuan sewenang-wenang dati aparat penegak hukum seperti yang terjadi pada Muhammad Azuar alias Raju, yang didakwa atas perbuatan penganiayaan karena berkelahi dengan Armansyah alias Eman yang dilakukan pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2005 bertempat di Gang Antara Desa Paluh Mauis Kec. Gebang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Raju yang masih berusia 8 (de1apan) tahun terpaksa harus mendekam di Rutan Pangkalan Brandan selama beberapa jam bersama tahanan dewasa dan mendapat stigma dari Hakim tunggal yang memeriksa perkaranya sebagai anak nakal. Bahwa dalam menyikapi permasalahan tersebut, perlu diambil langkah bijak yang melibatkan peran pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum dengan menerapkan ketentuan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan merevisi kembali ketentuan-ketentuan dati undang-undang tersebut yang dirasa masih kurang sesuai dalam upaya perlindungan terhadap anak yang berkunflik dengan hukum.

Tentang hakim yang menyidangkan perkara dan ketiadaannya LAPAS anak
Disidangkan dengan hakim tunggal, merujuk pada pasal 11 ayat (1) UU no3 tahun 1997. Yang berbunyi  “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal”. Walaupun dalam ayat selanjutnya bisa dikesampingkan dengan adanaya menggunakan hakim majelis yaitu ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis”.
Dalam hal ini perkara raju bukan merupakan perkara yang mendapatkan penanganan serius dari aparat penegak hukum. Bukan berarti kasus ini tidak penting atau tidak perlu penanganan yang sangat intensif. Akan tetapi meurut penulis kasus rajau ini hanya kasus umum yang biasa dilakukan oleh anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun. Sehingga hakaim sepatutnya bisa memutus dengan seadil-adilnya.
Tentang ketiadaan LAPAS anak di daerah hukumnya sebenarnya tidak terlalu diributkan. Sesungguhnya walaunpun ketiadaan LAPAS anak, akn tetapi bisa ditempatkan bersama orang dewasa. Akan tetapi harus dipisahkan atau di “sekat” dari narapidana orang dewasa, ini merujuk ketidakadaan LAPAS anak di daerah hukumnya.

Putusan yang seharusnya
Raju selayaknya mendapatkan putusan bebas (atau setidak-tidaknya dikembalikan kepada orang tua untuk dibina kemabali bersama kelaurga dan masyarakat), merujuk pada beberapa faktor seperti raju masih dibawah umur, penyidikan/ proses penyelidikan dari awal sudah cacat hukum, tidak adanya LAPAS untuk anak ditempat kasus itu disidangkan. Dan lain sebagainya.
Dengan demikian,  ketentuan  Kovenan sepanjang yang mengatur persoalan  pencabutan kebebasan seseorang secara umum mutatis mutandis berlaku  pada seorang anak yang melakukan tindak pidana. Namun,  apabila terdapat ketentuan yang  ruang lingkup berlakunya secara khusus ditujukan bagi anak-anak, maka ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum yang berbeda.  Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi anak yang dicabut hak-haknya dengan menggunakan legal term”terdakwa/terpidana/orang di bawah umur” (Pasal 10 ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)).   Artinya legal term ini harus dibaca dengan menginterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan anak. Dengan kata lain, anak-anak harus mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hak-haknya sebagaimana semua proseder dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi pelaku kriminal dewasa. Konsekuensi logis dan yuridisnya, negara dibebani kewajiban untuk memberikan perlakuan yang berbeda  antara orang dewasa dan anak yang melakukan suatu tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)).  Dalam perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena kedua instrumen ini telah diratifikasi dengan demikian menjadi hukum positif (Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis.

resume hukum pajak




Tugas resume
1.      Sejarah Perpajakan
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Negara baik di bidang kenegaraan maupun di bi bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan Negara, seperti menjaga keamanan Negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan umum, membiayai pegawai kerajaan, dan sebaliknya. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura maka ia wajib melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk orang-orang yang kaya, yang dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi, dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai dengan jumlah uang yang diperlukan untuk membayar orang lain yang menggantikan melakukan pekerjaan itu, yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang kaya yang memiliki status social yang lebih tinggi dan orang kaya tadi.
Pada tahun 509-27 SM di Roma ada beberapa pungutan yang diwajibkan kepada rakyatnya, dengan sebutan seperti censor, questor dan jenis pungutan lainnya. Pajak langsung (tributum) dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Setelah abad kedua penguasa Roma mengandalkan pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia, seperti portoria yakni pungutan atas penggunaan pelabuhan. Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan. Di Italia dikenal decumae, yakni pungutan sebesar 10% dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk di Italia, termasuk penduduk Roma sendiri dikenakan pajak langsung (tributum) yang tetap.
Di Mesir, pembuatan piramida pada akhirnya dilakukan dalam bentuk kerja paksa, yang pada mulanya adalah suatu bentuk pengabdian dan sifatnya sukarela dari rakyat Mesir.
Di benua Amerika, setelah benua tersebut menjadi koloni Inggris, penduduk koloni mempunyai kewajiban membayar berbagai pungutan kepada pemerintah kolonial Inggris, yang dikemudian waktu menjadi penyebab Revolusi Amerika, yaitu setelah diundang-undangkannya The Stamp act (1765) dan The Townshend Act (1767). The Stamp Act merupakan undang-undang yang mewajibkan setiap penduduk koloni tersebut untuk membayar pajak atas pembelian koran, kartu judi, dadu, dan akte perkawinan. The Townshend Act merupakan pemungutan terhadap teh, kertas, cat, dan kartu.
Di beberapa Negara Eropa, timbul pajak permanen berbarengan dengan pembentukan tentara permanen, seperti Perancis tahun 1944, dan Rusia dalam tahun 1626. Sebaliknya di Inggris tidak tampak hubungan yang jelas antara pungutan pajak dengan organisasi ketentaraan. Hampir dapat dikatakan bahwa pemungutan pajak mula berkembang di daratan Eropa, ini dapat dimengerti karena Negara-negara di Eropa sudah maju baik tingkat pendidikan maupun tingkat ekonominya.
Mula-mula pada bidang pemungutan pajak ini terdapat penyalahgunaan dan beban pajak yang tidak dibagi secara merata. Salah satu penyalahgunaan dalam bidang ini ialah pemberian hak istimewa berkenaan dengan pemungutan pajak atau malahan pemberian pembebanan pajak kepada orang-orang tertentu telah berjasa kepada Negara atau raja. Di Perancis sebelum revolusi kelas-kelas yang memiliki hak-hak istimewa, seperti pada pemuka agama dan para penguasa dibebaskan dari pembayaran pajak dengan alasan tersebut di atas, sedangkan rakyat jelata pada waktu itu dikenakan berbagai macam pungutan yang sangat memberatkan. Keadaan inilah yang merupakan salah satu sebab timbulnya semboyan semasa revolusi yang diteriakkan oleh rakyat Perancis yang berbunyi: “bahwa pemungutan pajak harus diselenggarakan secara umum dan merata”.
Sedangkan kerajaan-kerajaan di Jawa sekitar abad XIX, juga melakukan hal pemungutan seperti pada paragraf satu jelaskan yakni terkait perkembangan pemungutan pajak yang kemudian perkembangan selanjutnya adalah tenaga dari rakyat yang ditarik sebagai pajak oleh raja dengan istilah kerja bakti dan kadang-kadang gotong royong.
Pajak yang pertama kalinya di awali di Indonesia yaitu Pajak Bumi dan Bangunan atau yang lebih kita kenal dengan sebutan PBB. Dimana pada saat itu lebih dikenal sebagai pajak pertanahan. Pungutan ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Pemungutan Pajak atas tanah ini dimulai sejak VOC masuk dan menduduki Hindia Belanda. Pada pada jaman dulu, Inspektur Liefrinch dari VOC mengadakan survey atau penelitian di daerah Parahyangan.
Di mana hasil dari penelitian tersebut membuat VOC memutuskan untuk memberlakukan pajak pertanahan yang disebut dengan landrente. Rakyat setuju atas keputusan Pemerintah Hindia Belanda ini. Rakyat harus membayar uang sebesar 80% dari harga besaran tanah atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral yang terkenal akan kekejamannya menyatakan bahwa tanah di Hindia Belanda adalah milik dari Belanda. Pada masa kependudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles kebijakan landrente berubah. Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk golongan pribumi dan tarif 5% untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu, Raffles juga mengeluarkan Surat Tanah sebagai suatu Sertifikat Tanah Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan nama girik dalam bahasa Jawa. Ketika, pemerintahan Hindia Belanda kembali, timbul gagasan untuk mengenakan pajak penghasilan. Pada tahu 1920-1921 sudah ada pajak penghasilan terhadap hasil bumi atau hasil lahan penduduk. Isitlahnya dikenal dengan nama Versponding Warde yang berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau. Pengenaan tarifnya sebesar 7,5% dari hasil. Pada tahun 1934 sudah ada Pajak Kendaraan Bermotor. Setelah itu, lahirlah jenis pajak-pajak yang lain yang berkembang hingga zaman kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itulah, kita dapat menyebut bahwa PBB merupakan cikal bakal dari pajak di Indonesia.
Pajak Bumi semula pelaksanaan pemungutannya dengan cara lama digunakan secara penuh. Kemudian Pajak Bumi di wilayah negara Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta dihapus, sedangkan di wilayah federal Pajak Bumi terus berlaku. 1951 Pajak Bumi di negara Republik Indonesia dihapus, diganti dengan Undang-Undang No.14 tahun 1951, yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).
UU No.14 tahun 1951, melahirkan Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI). Tugasnya adalah melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat yang ada di Indonesia. Namun karena P3TMI ini ternyata dianggap hanya mengurus pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah lagi menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI). Tugasnya yaitu menjadikan tugas yang sama seperti yang diatas ditambah kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran Sementara terhadap tanah milik yang sudah terdaftar.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPU) No.11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi telah ditetapkan menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1961. Jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi dirubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi. Sesuai dengan SK Menteri Iuran Negara PMPPU 1-1-3 29 November 1965, Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Pengenaan Iuran pembangunan daerah dilakukan terhadap tanahtanah di pedesaan, perkotaan, perhutanan, perkebunan dan pertambangan.
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah diadakan Tax Reform yaitu diadakan pembaruan dan penggantian atas peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku. Tax Reform tahun 1983 ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 1984. Dengan adanya Tax Reform maka sistem perpajakan Indonesia berubah dari Oficial Assesment menjadi Self assesment. Tax Reform 1983, melahirkan Undang-Undang No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang ditetapkan pada tanggal 27 Desember 1985 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Pada tanggal 9 November 1994, telah disahkan Undang-undang No.12 tahun 1994; tentang Perubahan atas Undang-undang No.12 Tahun 1985 tentang PBB, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.


2.      Sumber Penerimaan Negara
Ada beberapa sumber penerimaan negara yakni seperti berasal dari, Perusahaan Negara; Barang-barang milik pemerintah atau yang dikuasai pemerintah; Denda- denda dan rampasan-rampasan untuk kepentingan umum; Hak waris atas peninggalan harta terlantar (Balai Harta Peninggalan); Hibah-hibah wasiat dan hibah lainnya; Iuran-iuran (pajak, retribusi, sumbangan).
Menurut UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan,penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
a.       Penerimaan Perpajakan
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan,pajak pertambahan nilai barang dan jasa,pajak penjualan atas barang mewah,pajak bumi dan bangunan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan,cukai,dan pajak lainnya. Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yyang berasal dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor. hingga saat ini struktur pendapatan negara masih didominasi oleh penerimaan perpajakan,teruttama penerimaan pajak dalam negeri dari sektor nonmigas.
b.      Penerimaan Negara Bukan Pajak
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) adalah semua penerimaan yang diterima oleh negara dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam,bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara,serta penerimaan negara bukan pajak lainnya. Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, PNBP memiliki peran yang cukup penting dalam menopang kebutuhan pendanaan anggaran dalam APBN walaupun sangat rentan terhadap perkembangan berbagai faktor eksternal. PNBP juga dipengaruhi oleh perubahan indikator ekonomi makro,terutama nilai tukar dan harga minyak mentah di pasar internasional. Hal ini terutama karena struktur PNBP masih didomiinasi oleh penerimaan sumber daya alam (SDA), khususnya yang berasal dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas), yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah,harga minyak mentah,dan tingkat lifting minyak.
c.       Penerimaan Hibah
Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan swasta dalam negeri serta sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar negeri. Penerimaan hibah yang dicatat didalam APBN merupakan suumbangan atau donasi (grant) dari negara-negara asing,lemaga/badan nasional,serta perorangan yang tidak ada kewajiban untuk membayar kembali.Perkembangan penerimaan negara yang berasal dari hbah ini dalam setiap tahun anggaran bergantung pada komitmen dan kesediaan negara atau lembaga donatur dalam memberikan donasi (bantuan) kepada Pemerintah Indonesia.


3.      Iuran-iuran (Pajak, Retribusi dan Sumbangan)
a.       Pajak
Definisi pajak menurut UU No. 28 tahun 2007 adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Soemitro pajak adalah iuran rakyat ke kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontrafrestasi) secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut mengandung beberapa pengertian, yaitu :
1)      Kontribusi wajib kepada Negara
a.       Yang berhak memungut adalah Negara
b.      Kontribusi berupa uang
2)       Berdasarkan undang-undang
a.  Pemungutan berdasarkan undang-undang dan peraturan yang mengikatnya
b.  Pemungutan dapat dipaksakan
3)       Tanpa imbalan secara langsung
Tidak dapat secara langsung dinikmati/ditunjukkan imbalan pembayaran pajak dari masyarakat ke negara.
4)      Digunakan untuk membiayai RT Negara bagi kemakmuran masyarakat
Iuran digunakan untuk membiayai rumah tangga negara atau pembangunan yang bersifat untuk kemakmuran masyarakat.

b.      Retribusi
Iuran yang mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi (manfaatnya dirasakan secara langsung) seperti pembayaran uang kuliah, karcis hiburan, karcis parkir dan lain-lain.
Pengertian Pajak Daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Distribusi Daerah, Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

c.       Sumbangan
Iuran yang diberikan seseorang dengan kontraprestasi dinikmati oleh kelompok tertentu, seperti sumbangan bencana alam (gempa, banjir, kekeringan dan lain-lain).


4.      Persamaan dan Perbedaan Pajak, Retribusi dan Sumbangan
a.       Persamaan
Pada dasarnya persamaan ketiga jenis pungutan tersebut adalah sama-sama bentuk pungutan yang pemungutannya dapat dipaksakan dan digunakan untuk tujuan kesejahteraan.

b.      Perbedaan

Pajak
Retribusi
Sumbangan
Dasar Hukum
Undang-undang
Peraturan pemerintah, peraturan menteri, atau pejabat negara yang lebih rendah
Pemerintah daerah
Balas jasa
Tidak langsung
Langsung dan nyata kepada individu tersebut
Langsung kepada golongan tertentu
Objek
Umum (seperti penghasilan, kekayaan, laba
 perusahaan dan kendaraan).
orang-orang tertentu yang menggunakan jasa
 Pemerintah
golongan tertentu.
Sifat
Dapat dipaksakan (menurut UU). Jadi, wajib dibayar. Kalau tidak, maka akan mendapatkan sanksi
Dapat dipaksaan. Akan tetapi paksaannya bersifat ekonomis yang hanya berlaku kepada orang-orang yang menggunakan jasa pemerintah.
Dapat dipaksakan. Akan tetapi paksaan tersebut bukan untuk umum. Paksaan tersebut hanya berlaku kepada golongan-golongan tertentu.
Lembaga Pemungut
Pemerintah pusat maupun daerah (negara).
Pemerintah daerah.
Lembaga-lembaga tertentu.
Tujuan
Kesejahteraan untuk umum.
Kesejahteraan untuk individu tersebut yang menggunakan jasa pemerintah.
Kesejahteraan hanya untuk suatu golongan tertentu.