Jumat, 12 Juni 2015

contoh Makalah Kebijakan Publik - Kebijakan Mengenai Keistimewaan Yogyakarta



Tugas Kebijakan Publik
“KEBIJAKAN MENGENAI KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA”




Disusun oleh:
ERNI KUSWULANDARI SUWARNO
12401241003
PKNH “A”


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap negara pasti memiliki sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, begitupun juga dengan Indonesia. Kebijakan merupakan cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Pemerintah sering kali mengeluarkan kebijakan yang bersifat untuk kepentingan umum atau yang lebih sering dikenal dengan kebikakan publik. Indonesia sendiri memiliki banyak kebijakan yang menyangkut kepentingan umum, salah satunya yaitu kebikajan mengenai “keistimewaan daerah”. Selama ini kita mengenal bahwa keistimewaan daerah yang ada di Indonesia berada di provinsi Aceh dan provinsi Yogyakarta.
Suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus benar-benar untuk kepentingan masyarakat, seperti halnya kebikajan mengenai keistimewaan daerah. Suatu daerah dijadikan istimewa juga memiliki tujuan yang baik untuk masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu kebijakan?
2.      Bagaimana  kebijakan publik itu?
3.      Bagaimana kebijakan publik mengenai keistimewaan daerah dan kaitannya dengan otonomi daerah?
4.      Bagaimana keistimewaan daerah yang ada di provinsi Yogyakarta?
5.      Bagaimana perbedaan keistimewaan daerah yang ada di Aceh dan Yogyakarta?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui apa itu kebijakan.
2.      Mengetahui apa itu kebijakan publik.
3.      Memahami bagaimana kebijakan publik yang berkaitan dengan keistimewaan daerah dan kaitannya dengan otonomi daerah.
4.      Memahami keistimewaan daerah yang ada di Yogyakarta.
5.      Memahami perbedaan keistimewaan daerah yang ada di Aceh dan Yogyakarta.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakekat Kebijakan
Budi Winarno dan Sholichin Wahab sepakat bahwa istilah kebijakan penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal, dan grand design.
Kebijakan merupakan cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Richard Rose menyarankan kebijakan hendaknya sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan sendiri.
Menurut Carl friedrich, kebijakan dipandang sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan pelbagai hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan, lntas menggunakan kebijakan tersebut untuk mengatasi segala bentuk persoalan demi mencapai tujuan yang dimaksud. Budi Winarno mengingatkan bahwa dalam mendefinisikan kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.
Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang actor atau sejumlah actor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Konsep kebijakan ini memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulakan atau dimaksudkan. Konsep ini juga secara tegas membedakan antara kebijakan (policy) dan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan di antara berbagai alternative yang ada.

B.     Kebijakan Publik
Studi kebijakan publik merupakan suatu studi yang bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah.
Dalam literatur ilmu politik terdapat banyak batasan atau definisi mengenai kebijakan publik yang masing-masing berbeda. Faktor lain yang menyebabkan para ahli berbeda dalam memberikan definisi kebijakan publik menurut Budi Winarno karena perbedaan pendekatan dan model apakah kebijakan publik dilihat sebagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya dapat diramalkan.
Robert Eyeston mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Thomas R. Dye menyatakan kebijakan public adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. W.I Jenkis merumuskan kebijakan publik sebagai serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan tujuan yang dipilih, beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.
Amir Santosa mengomparasikan berbagai definisi yang dikemukakan para ahli bahwa pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah kategori.
Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap semua tindakan pemerintah sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang dapat diramalkan.
David Easton menyebut ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan, orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para eksekutif, para legislator, para hakim, para administrator, para monarki, dan lain sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton merupakan orang-orang dalam kesehariannya terlibat dalam urusan politik dari sistem politik itu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan-urusan politik tadi. Mereka berhak untu mengambil tindakan-tindakan tertentu sepanjang tindakan-tindakan tersebut masih berada dalam batas-batas peran dan kewenangannya.
Penjelasan di atas membawa implikasi terhadap konsep kebijakan publik yang sekaligus merupakan ciri-ciri dari kebijakan publik.
Pertama, kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kedua, kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola  yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga, kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin bernentuk negatif.
Kemudian James Anderson menyampaikan kategori tentang kebijakan public sebagai berikut:
a.       Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural
b.      Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif
c.       Kebijakan materal versus kebijakan simbolis
d.      Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum dan barang privat
Kerangka kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh seberapa variabel sebagai berikut:
1.      Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai.
2.      Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.
3.      Sumber daya yang mendukung kebijakan.
4.      Kemapuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.
5.      Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
6.      Strategi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
Proses kebijakan publik yang dikemukakan William N. Dunn:
Fase
Karakteristik
Ilustrasi
Penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda pubik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Legislator negara dan co-sponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujuai atau rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Formulasi kebijakan
Para pemerintah merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternative kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
Pengadilan Negara Bagian mempertimbangkan pelarangan penggunaan tes kemampuan standar seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bisa terhadap perempuan dan minoritas.
Adopsi kebijakan
Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga aau keputusan peradilan.
Dalam keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe. V. Wade tercapai keputusan mayoritas bahwa wanita mempunyai hak mengakhiri kehamilan melalui aborsi
Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
Bagian Keuangan Kota mengangkat pegawai untuk mendukung peraturan baru tentang penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak lagi memiliki status pengecualian pajak.
Penilaian Kebijakan
Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif dan peradilan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Kantor akuntansi publik memantau program-program kesejahteraan sosial seperti bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya penyimpangan/korupsi.

C.     Kebijakan Publik Mengenai Keistimewaan Daerah dan Kaitannya dengan Otonomi Daerah
Menurut UUD 1945 sebelum sekarang diamandemen, sebuah daerah dinyatakan sebagai istimewa jika daerah itu memiliki apa yang disebut sebagai “susunan asli”. Pada bagian penjelasan dari pasal 18 ditulis demikian: “Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu memiliki susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.
Antara Keistimewaan Daerah dan Otonomi Daerah memiliki kesamaan, yakni pemerintah daerah berhak mengatur wilayahnya. Selama Indonesia merdeka, kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis. Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsepsi tersebut di satu sisi mengukuhkan keberadaan daerah sebagai bagian nasional, tetapi di sisi lain memberikan stimulan bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan kepentingannya, termasuk maslah otonomi daerah dalam sistem hukum dan kebijakan nasional. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi. Pelaksanaan desentralisasi yang menghasilkan otonomi tersebut dijalankan dan dikembangkan dalam dua nilai dasar, yaitu nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan pemerintahan. Sementara itu nilai desentralisasi teritorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi.
Menguatnya usul penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur Yogyakarta membawa babak baru wajah penyelenggaraan desentraisasi di Indonesia. Wajah penyelenggaraan desentralisasi yang khas di Indonesia yang merupakan modifikasi teoritis melalui proses panjang deduksi otonomi. Desentralisasi dan otonomi adalah alat yang acap kali digunakan oleh bangsa-bangsa dengan karakter geografi dan demografi yang besar dan heterogen dalam rangka meraih kemajuan, kesejahteraan, dan pembangunan bangsa-bangsa tersebut. Dengan demikian, alat tersebut haruslah mengikuti kehendak bangsa yang dimaksud. Jika tidak efektif, perlu disesuaikan dan dimodifikasi; jika efektif, tentu perlu dimonitor terus-menerus mengikuti perkembangan social-ekonomi-politik dan budaya dari masyarakat tersebut. Persoalannya adalah perbaikan dan penyesuaian menjadi terkendala manakala terjadi paradoks penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi ini seperti sedang kita saksikan dan dapat diperkirakan makain tersa pada 2011.
Paradoks yang mengganggu pertama adalah antara keinginan mempertahankan bentuk negara kesatuan sebagai arus atas dan keinginan untuk menampung kekhasan-kekhasan yang mengarah ke federalistik sebagai arus bawah. Paradoks ini paling berat yang harus dihadapi bansa Indonesia karena rasionalitas bangsa, yakni rasionalitas mengenai makna otonomi. Otonomi menurut sebagian kalangan dipahami sebagai kedaulaan sementara sebagian menganggap dikendalikan oleh kedaulatan.
Paradoks kedua adalah pembenturan antara dimensi strategis dan dimensi teknis. Dalam hal visi strategis tengah bercampur-baur antar nilai-nilai yang diinginkan dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi di Indonesia. Berbagai pihak menginginkan efisiensi dan efektivitas lebih besar, sedangkan pihak-pihak lain yang tidak boleh dianggap sepele menginginkan demokratisasi dan partisipasi lebih besar. Dalam praktik kedua-duanya ditampung sedeikian rupa sehingga menjadi pembenturan
Paradoks ketiga adalah pembenturan antara keinginan menatap masa depan dan baying-bayang sejarah. Sejarah otonomi daerah Indonesia bayak dipengaruhi oleh polesan Hindia-Belanda terhadap daerah-daerah yang dikuasai para raja di Tanah Air masih terngiang-ngiang di sejumlah pihak sehingga kemudian bisa disaksikan keinginan Kasultanan Surakarta untuk mengikuti jejak Yogyakarta.
Keinginan menatap masa depan dalam desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia tercermin dalam modernisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Buah modernisasi membawa otonomi daerah berpola positivistic dan pasca-positivistik. Bentuk-bentuk negara antara kesatuan dan federal adalh pilihan pertama yang harus diperhatikan.
Pasca-positivistik bukan menjungkirbalikkan positivistic yang sudah berjalan, melainkan hanya pada persoalan akomodasi aspirasi nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Pasca-positivistik tidak akan mengakui campuran yang tidak jelas juntrungannya. Muaranya adalah gerak organisasi formalnya tetap teratur, terstandar, dan terukur.
Paradoks kelima adalah paradoks sentrifugal dan sentripetal. Fragmentasi kelembagaan di tingkat nasional memudahkan sentrifugal terdrong cepat, tetapi pada saat bersamaan elite nasional menginginkan setripetalisme dijaga.

D.    Keistimeaan yang Ada di Yogyakarta
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, Yogyakarta memiliki apa yang disebut susunan asli atau “asal usul” tersendiri. Pemerintahan yang ada di Yogya tidak tumbuh setelah RI merdeka, tetapi memiliki asal usul tersendiri. Yogya dinyatakan istimewa karena UUD 1945 itu “menghormati dan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Sebagai sebuah kerajaan, Kasultanan Yogya mempunyai sistem pemerintahan tersendiri (“susunan asli”). Sebelum diadakan reorganisasi sistem pemerintahan pada 1926, susuan asli pemerintahan Kasultanan di Yogya adalah sebagai berikut. Kasultanan Yogya dibagi menjadi 5 Kabupaten dan 1 Kabupaten kota. Setiap kabupaten dibagi menjadi beberapa kepanjen (distrik) yang masing-masing dikepalai oleh seorang panji distrik. Setiap kepanjen terdiri dari beberapa daerah asistenan (onderdistrik) yang masing-masing dikepalai oleh seorang asisten panji. Setiap asistenan terdiri dari beberapa desa. Adapun kabupaten kota dibagi menjadi beberapa daerah asistenan yang selanjutnya terbagi-bagi lagi dalam beberapa kampung.
Pada 1926 diadakan reorganisasi sistem pemerintahan. Kasultan dibagi menjadi empat kabupaten (Yogyakarta, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo). Kabupaten Yogyakarta mencakup Kawedanan Kota Yogyakarta, Kawedanan Kalasan, dan Kawedanan Sleman. Setiap Kawedanan itu dibagi-bagi menjadi beberapa asistenan. Dalam Asistenan Yogyakarta terdapat beberapa asistenan kemantren. Sedangkan asisten di Kalasan dan Sleman membawahi beberapa daerah yang lebih kecil disebut desa.
Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo juga membawahi daerah-daerah kawedanan-kawedanan. Di bawah setiap kawedanan itu terdapat asistenan-asistenan dan desa-desa. Setiap kawedanan dipimpin oleh seorang wedana pangreh praja. Menurut Selo Soemardjan, penggantian istilah dari kepanjen menjadi kawedanan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian dengan daerah-daerah lain di luar Kasultanan Yogya. Itulah sistem pemerintahan Yogya yang merupakan sebuah “susunan asli” yang eksis sejak jaman dulu.
Ketika para penjajah meninggalkan bumi pertiwi, Yogya yang telah memiliki pemerintahan sendiri sebenarnya sudah siap untuk menjadi sebuah negara sendiri. Syarat sebuah negara adalah memiliki wilayah, rakyat, dan sistem pemerintahan. Ketiga syarat dasar itu telah dimiliki oleh Yogya. Seandainya dulu Yogya tidak mau bergabung dengan RI namun berdiri sebagai negara sendiri maka sejarah Indonesia akan berbeda.
Itulah sebabnya, setelah RI memproklamirkan kemerdekaannya, Penjajah Belanda sempat memberikan tawaran kepada Sri Sultan HB IX untuk menjadi “Super Wali Nagari” atas wilayah Jawa dan Madura dalam rangka negara federal yang akan dibuat Belanda. Namun, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII sudah bertekat bulat untuk memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Bahkan, Yogya dipersembahkannya sebagai pilar penyangga bagi berdirinya Republik ini.
Status keistimewaan Yogykarta tidak bisa dilepaskan dari keputusan “nagari” Ngayogyokarto untuk bergabung dengan RI. Namun, sebelum proses bergabung itu, terlebih dahulu terjadi proses reunifikasi antara Kasultanan dan Pakualaman. Reunifikasi ini menjadikan Yogya sebagai satu (sebuah) kerajaan dengan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai dwitunggal pemimpinnya.
Setelah RI memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII memutuskan untuk bergabung dengan RI. Dalam sebuah diskusi pribadi saat mempertimbangkan keputusan itu, Sri PA VIII berkata kepada Sri Sultan HB IX: “Saenipun kito bergabung mawon kaliyan Republik” (Sebaiknya kita bergabung saja dengan Republik). Spontan, Sri Sultan HB IX menanggapi: “Yes, aku setuju!”. Segera setelah itu, Sri Sultan HB IX memanggil sekretarisnya (Kanjeng Raden Tumenggung Hanggawangsa) untuk mengirim telegram kepada Bung Karno yang berisi ucapan selamat dan pernyataan bahwa Kasultanan dan Pakualaman Yogya mendukung dan bergabung dengan RI.
Keputusan untuk bergabung dengan RI merupakan kebesaran hati Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII. Mereka berdua tidak mementingkan diri mereka sendiri. Mereka mempersembahkan kerajaan yang telah berdiri sejak ratusan silam untuk mendukung penuh  “jabang bayi RI” yang baru saja lahir.
Presiden Soekarno sangat menghargai dan sangat menghormati keputusan politis Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII tersebut. Dalam waktu yang sangat cepat, Presiden Soekarno memberikan apa yang dinyatakan sebagai “Piagam Kedudukan”, baik kepada Sri Sultan HB IX maupun kepada Sri PA VIII. Piagam itu yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno itu ditulis di Jakarta pada 19 September 1945. Hanya karena situasi dan kondisi yang sulit, Piagam itu baru sampai Yogya beberapa waktu kemudian.
Piagam Kedudukan yang diberikan Prsiden Soekarno untuk Sri Sultan HB IX berbunyi demikian: “Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrachman Sayidin Ponotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX ing Ngayogyokarto Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia”.
Sedangkan Piagam Kedudukan yang diberikan Presiden Soekarno untuk Sri Paku Alam VIII berbunyi demikian: “Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam Ingkang Kaping VIII pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri Paduka Kanjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Pakualaman sebagai bahan daripada Republik Indonesia”.
Piagam Kedudukan tersebut menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, hubungan Yogya dan Pemerintah Pusat (Presiden RI) adalah hubungan langsung. Piagam itu diberikan langsung oleh Presiden RI kepada raja di Yogya. Itulah sebabnya Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII kemudian membuat Amanat (5 September 1945) yang menyatakan bahwa dalam menjalankan pemerintahan daerah mereka berdua bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Kedua, Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Kasultanan Yogya yang daerah kekuasaannya meliputi Kasultanan Yogya. Wilayah itu merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Ketiga, Pemerintah Pusat (Pesiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Sri Sultan HB IX sebagai raja Yogya. Penyebutan gelar lengkap dari Sri Sultan dalam Piagam itu menunjikkan bahwa kekuasaan Sri Sultan diakui secara penuh. Gelar itu menunjukkan secara eksplisit bahwa Sri Sultan adalah raja atau pemimpin yang berkuasa secara politis, militer, sosial-budaya, dan keagamaan.
Keempat, Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Kadipaten Pakualaman sebagai sebuah kerajaan merdeka yang merupakan wilayah Republik Indonesia. Pengakuan akan kadipaten itu penting sebab wilayah Pakualaman itu berbeda dengan wilayah kekuasaan Kasultanan.
Kelima, Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Sri Paku Alam VIII sebagai raja atas kadipaten Pakualaman. Sama seperti pada penyebutan gelar Sri Sultan, penyebutan gelar Paku Alam juga dituliskan secara lengkap. Hal itu menunjukkan bahwa kekuasaan dan wewenang Paku Alam diakui secara penuh.
Piagam Kedudukan itu mempunyai nilai sangat penting sebab merupakan catatan sejarah tentang deal yang terjadi antara Pemerintah RI dengan Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat (Kasultanan dan Pakualaman). Karena Piagam Kedudukan itu sangat penting, Presiden Soekarno mengirim utusan khusus untuk menyampaikan Piagam itu langsung kepada Sri Sultan HB IX. Karena situasi yang serba sulit, utusan yang terdiri dari Menteri Mr. Sartono dan Menteri Mr. Maramis baru tiba di Yogya pada 6 September 1945. Adapun Piagam Kedudukan itu sudah dibuat dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945.
Piagam itu dibuat pada 19 Agustus 1945, sedangkan UUD 1945 ditetapkan mulai berlaku sejak tanggal 18 Agustus 1945. Piagam Kedudukan tersebut, yang merupakan penghargaan istimewa terhadap daerah Yogyakarta, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya seperti yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 memberikan konsep yang jelas mengenai daerah-daerah istimewa di Indonesia. Pasal itu berbunyi demikian: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Pada bagian penjelasan dinyatakan demikian: “Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Dengan demikian, pemberian Piagam Kedudukan pleh Presiden RI kepada Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII merupakan wujud pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada awal kemerdekaan RI, Pemerintah Pusat sangat mengingat dan menghormati kedudukan daerah istimewa Yogyakarta.
DIY terlahir dari sebuah suasana kebatinan bangsa Indonesia yang bukan hanya diliputi semangat persatuan bangsa, tetapi juga penghargaan tinggi terhadap sejarah pasal 18 UUD 1945 menegaskan pentingnya NKRI, tidak boleh ada negara di dalam negara. Namun, pasal itu juga mengakui dan menghormati kenyataan historis dari setiap daerah yang bersifat istimewa karena memiliki “susunan asli” sejak sebelum RI merdeka.
Pasal 18 UUD 1945 menekankan prinsip “memandang” dan “mengingat” hak asal usul susunan asli suatu daerah. Menurut Sujamto hal itu berarti bahwa setiap undang-undang yang diterbitkan tidak boleh mengabaikan hak-hak asal usul daerah-daerah istimewa tersebut. Adapun hak asal usul itu mencakup, pertama, asal usul struktur kelembagaan pemerintahan (“susunan asli”). Kedua, asal usul ketentuan dan prosedur pengangkatan dan pemberhentian pimpinan daerah. Misalnya, dalam konteks DIY Sri Sultan dan Paku Alam secara otomatis menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketiga, asal usul penyelenggaraan urusan pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan masalah pelayanan publik dan pajak.
Kelahiran DIY ini menunjukkan bahwa ketika sejarah diapresiasi maka keberadaan daerah-daerah istimewa di negeri ini juga diakui. Sejarah tidak berbicara tentang sesuatu yang kuno di masa silam, namun berbicara tentang proses atau kronologi. Para founding fathers benar-benar memahami bagaimana proses berdirinya Kasultanan dan Pakualaman. Mereka tidak melupakan proses bagaimana kedua kerajaan itu memilih bergabung dengan RI dan berkomitmen kepada RI.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia, menimbang: a. bahwa negara mengakui dan menghormati satu-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
b. bahwa Kasultanan Ngayogyokarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang talah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga Keutuhan Negara Republik Indonesia;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

E.     Perbedaan Keistimewaan daerah yang dimiliki Aceh dan Yogyakarta
Untuk memahami kelahiran DIY, kiranya perlu diperhatikan bagaimana perbedaan kelahirannya dengan kelahiran Daerah Istimewa Aceh. Yogya disebut istimewa karena sebelum bergabung dengan RI sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri atau apa yang disebut dalam pasal 18 UUD 1945 sebagai “susunan asli”. Hal itu jelas karena Yogya merupakan sebuah kerajaan atau “nagari” tersendiri. Adapun Aceh, pada waktu bergabung dengan RI, bukan merupakan penerus langsung dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah itu.
Pada jaman Hindia Belanda, Aceh merupakan sebuah karesidenan. Pada masa itu, Karesidenan Aceh terdiri dari beberapa kabupaten (afdeling). Di kawasan Aceh tersebut ada beberapa daerah yang berpemerintahan sendiri atau otonom, disebut sebagai daerah zelfbestuurd gebied. Ada pula beberapa daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda., disebut sebagai daerah rechstreeks bestuurd gebied.
Proses sampai akhirnya menjadi Daerah Istimewa Aceh merupakan proses panjang dan melelahkan melewati tahapan-tahapan sebagai berikut. Pertama, pada saat RI merdeka, Aceh mendapatkan status baru sebagai sebuah karesidenan di dalam provinsi Sumatra.
Kedua, pada masa revolusi kemerdekaan, Aceh menjadi sebuah Daerah militer. Aceh bersama dengan Langkat dan Tanah Karo merupakan Daerah Militer di dalam Provinsi Sumatra.
Ketiga, daerah Aceh disebut Presiden Soekarno sebagai “daerah modal” bagi Republik. Kemudian, dibentuklah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.
Keempat, Banda Aceh (Kutaraja) menjadi tempat kedudukan (kantor) Waki Perdana Menteri RI. Pada waktu itu rakyat Aceh menyatakan aspirasi untuk menjadikan Aceh sebagai Provinsi Otonom.
Kelima, Wakil Perdana Menteri menetapkan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh. Wilayahnya agak lebih luas dari wilayah Provinsi DI Aceh yang sekarang ini.
Keenam, karena rakyat terus-menerus bergejolak dan menuntut supaya Aceh diberi otonomi secara khusus, akhirnya diputuskan bahwa Aceh merupakan sebuah Daerah Istimewa. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959 No. 1/Misi/1959 menyatakan bahwa Daerah Swatantra Tingkat I Aceh dapat disebut sebagi Daerah Istimewa Aceh.
Proses itu berbeda dengan Yogya. Ketika RI merdeka, Yogya merupakan sebuah kerajaan (Kasultanan dan Pakualaman) yang berdaulat penuh. Yogya memiliki sistem pemerintahan tersendiri. Namun, pemimpin pemerintahan (raja) di Yogya memutuskan untuk bergabung dengan RI.
Status keistimewaan Yogya tidak bisa dilepaskan dari keputusan “Nagari” Ngayogyokarto untuk bergabung dengan RI. Namun, sebelum proses bergabung itu, terlebih dahulu terjadi proses reunifikasi antara Kasultanan dan Pakualaman. Reunifikasi ini menjadikan Yogya sebagai satu (sebuah) kerajaan dengan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai dwitunggal pemimpinnya.
Reunifikasi itu terjadi pada jaman pendudukan Jepang. Waktu itu, Jepang ingin mengadu domba Kasultanan dengan Pakualaman. Penjajah yang mengaku sebagai “saudara tua” itu memancing persaingan di antara kedua projo kejawen tersebut. Bibit perselisihan sengaja ditebar supaya pihak Kadipaten Pakualaman merasa iri dengan pihak Kasultanan yang pada waktu itu memiliki Schakle School dan beberapa asset lain yang lebih besar.
Baik Sri Sultan HB IX maupun Sri Paku Alam VIII sama sekali tidak terpancing dengan taktik devide et impera tersebut. Sri Paku Alam VIII mengontak Sri Sultan HB IX dan menyatakan keinginannya untuk menggabungkan kembali Kadipaten Pakualaman dengan Kasultanan Yogya. Sri Sultan HB IX pun menanggapi dengan senang hati. Mulai saat itu, kedua pemimpin ini berkantor bersama di Kepatihan, Yogya. Mereka berdua bangkit menjadi dwitunggal pemimpin Yogya yang gerak dan kepemimpinannya berdampak nasional.Setelah RI memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII memutuskan untuk bergabung dengan RI.



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut UUD 1945 sebelum sekarang diamandemen, sebuah daerah dinyatakan sebagai istimewa jika daerah itu memiliki apa yang disebut sebagai “susunan asli”. Pada bagian penjelasan dari pasal 18 ditulis demikian: “Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu memiliki susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, Yogyakarta memiliki apa yang disebut susunan asli atau “asal usul” tersendiri. Pemerintahan yang ada di Yogya tidak tumbuh setelah RI merdeka, tetapi memiliki asal usul tersendiri. Yogya dinyatakan istimewa karena UUD 1945 itu “menghormati dan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Setelah RI memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII memutuskan untuk bergabung dengan RI.
Yogya disebut istimewa karena sebelum bergabung dengan RI sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri atau apa yang disebut dalam pasal 18 UUD 1945 sebagai “susunan asli”. Hal itu jelas karena Yogya merupakan sebuah kerajaan atau “nagari” tersendiri. Adapun Aceh, pada waktu bergabung dengan RI, bukan merupakan penerus langsung dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah itu.

B.     Kritik dan saran











BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Suharno. 2010. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta: UNY Pers. Cetakan II.
Hari Sabarno. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika.
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan. Yogya: Pustaka Pelajar.
Haradi SN dkk. 2011. Monarki Yogya Inkonstitusional?. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Tim New Merah Putih (Penyusun). 2012. Undang-Undang Keistimewaan Nomor 13 Tahun 2012 Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: New Merah Putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar