Sabtu, 06 Juni 2015

Contoh Makalah Teori-Teori Politik - Relasi Antara State dengan Civil Society



MAKALAH KELOMPOK
TEORI-TEORI POLITIK
RELASI ANTARA STATE (NEGARA) AND CIVIL SOCIETY (MASYARAKAT MADANI)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah teori-teori politik
Dosen pembimbing: Nasiwan, M. Si.


Disusun oleh:
solihat                          (12401241001)
Erni Kuswulandari S.  (12401241003 )
Nandya Nandiroh       (12401241005)
Siti Lestari                   (12401241008)
Deka Lestari                (12401241015
Imam Naufi A.            (12401241024)
PKnH “A” 2012

FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014/2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas  kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan rezeki-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah  mata kuliah Teori-Teori Politik. Tak lupa sholawat serta salam penulis panjatkan kepada nabi Muhammad SAW yang sudah menjadi inspirasi dan pedoman.
 Makalah ini penulis  buat terkait tugas mata kuliah Teori-Teori Politik yang diampu oleh, bapak Nasiwan untuk memahami hubungan antara negara dengan mayarakat madani. Makalah ini berisi tentang hal-hal yang terkait negara, masyarakat madani dan hubunga antara keduanya.
Ibarat tak ada gading yang tak retak, seperti itulah makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, kesalahan dan kecacatan sehingga makalah ini terlampau jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Sekian dan terima kasih.



                                    Yogyakarta,  Oktober 2014









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Civil society (masyarakat sipil) merupakan arena berbagai gerakan sosial (seperti rukun tangga, kelompok perempuan, kelompok agama,kelompok intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan pengusaha) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan berbagai kepentingan mereka. Masyarakat sipil pada dasarnya dapat meruntuhkan sistem otoritarianisme (Nasiwan dan Cholisin, 2012). Mengenai masyarakat sipil dalam disiplin ilmu sosial diartikan sebagai elemen penting dalam sebuah negara dan konsep yang berlawanan dengan masyarakat politis, masyarakat militer sebagai suatu wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan, kemandirian tinggi dari kendali dan campur tangan negara, keterikatan, dengan norma serta nilai-nilai hukum yang dipatuhi oleh warganya (Nasiwan, 2012: 156) kemudian perhatian pada masalah politik di Indonesia telah menjangkau masyarakat yang sangat luas. Tidak hanya itu, perhatian terhadap bentuk pemahaman yang dapat dikatakan baru dalam ilmu politik, juga melewati batas keilmuan itu sendiri. Hal ini, barangkali, merupakan catatan tersendiri untuk kondisi masyarakat Indonesia, karena sangat jarang ditemui di dalam masyarakat lain (Afan Gaffar, 2006:175).
Semua orang memiliki peluang untuk menjadi pakar politik sekalipun tidak memiliki latar belakang yang cukup, sepanjang ia menulis dan berbicara di seminar dan kemudian media mengeksposnya maka jadilah ia pakar politik. Dekade 1990-an, orang banyak berbicara tentang civil society yang oleh kalangan Islam disebut sebagai masyarakat madani. Semua orang, baik ilmuwan politik maupun yang bukan, politisi dan aktifis, kalangan sipil dan militer, lantas berbicara tentang itu. Sekalipun banyak di antara mereka yang hanya memahami lewat Koran atau melalui diskusi atau seminar. Akibatnya, tidak jarang terjadi salah kaprah dalam memberikan interpretasi tentang konsep dasar apa yang disebut sebagai civil society. Dan tidak jarang pula ada yang memahami dengan melihat civil society sebagai masyarakat sipil vis a vis militer dalam kehidupan politik di Indonesia. Tampaknya, perhatian kita saat ini semuanya terarah kepada civil society (Afan Gaffar, 2006:176).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu negara (State)?
2.      Apa itu Civil Society (masyarakat madani)?
3.      Bagaimana hubungan antara state (negara) dengan civil society (masyarakat madani)?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui apa itu state negara.
2.      Mengetahui apa itu civil society (masyarakat madani).
3.      Mengetahui dan memahami relasi antara state dengan civil society.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    State (Negara)
Konvensi Montevideo 1933 tentang hak-hak dan kewajiban negara dalam pasal 1 tidak merumuskan pengertian negara, tetapi hanya menyebutkan unsure-unsur apa saja yang harus ada pada sesuatu yang dapat disebut sebagai negara antara lain, penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain (Ekram Pawiroputro, 2007: 24).
Logemann (Sugeng Istanto, 2014: 31)  mengutarakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan. Organisasi diartikan sekulumpulan orang yang, dalam mencapai tujuan bersama mereka, mengadakan kerja sama dan pembagian kerja di bawah satu pimpinan. Menurut Leon Duguit negara adalah kekuasaan orang-orang kuat memerintah orang lemah. Bahkan dalam negara modern kekuasaan orang-orang yang kuat diperoleh dari faktor-faktor politik (Abu Daud Busroh, 2009: 22).
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama sekaligus suasana antagonis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas:
1.      Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan.
2.      Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan Nasional (Miriam Budiardjo, 2010: 47-48)
Miriam Budiardjo menyebutkan bahwa negara ialah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah (Miriam Budiardjo, 2010: 49).
Dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.  Negara adalah organisasi yang memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat serta mempunyai hak istimewa, seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencakup semua, yang bertujuan untuk menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta tercapainya tujuan bersama (Sunarso dkk, 2008: 18).

B.     Civil Society (Masyarakat Madani)
Diskusi-diskusi mutakhir tentang civil society pada umumnya berporos pada pemahaman de Tocqueville. Civil Society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan di antaranya bercirikan kesukarelaan (voluntary), kswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Dari pengertian tersebut civil society berwujud dlam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok-kelompok kepentingan merupakan wujud dari kelembagaan civil society (Sunarso dkk, 2008: 82).
Masyarakat sipil (civil society) merupakan arena berbagai gerakan sosial (seperti rumah tangga, kelompok perempuan, kelompok agama, kelompok intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan pengusaha) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan berbagai kepentingan mereka. Masyarakat sipil pada dasarnya dapat meruntuhkan sistem otoriterisme (Cholisin, 2013: 35).
Civil society secara terminologis dapat diartikan masyarakat sipil, masyarakat kewarganegaraan, masyarakat beradab, atau masyarakat berbudaya. Jadi civil society dapat dipahami sebagai sebuah ruang (space) sebuah Negara, di mana di dalamnya hidup sekelompok individu dengan semangat toleransi yang tinggi dalam jalinan komunikasi dan interaksi yang sehat, serta terwujudnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Ada juga yang memahami civil society sebagai asosiasi masyarakat yang beradab sukarela hidup dalam suatu tatanan sosial yang membedakan dengan jelas di mana letak urusan individu dengan urusan kolektif, dan terjadi mobilitas yang tinggi dalam masyarakat, dan terbangun atas dasar jiwa sukarela jaringan kerjasama antar seluruh elemen masyarakat (Nasiwan, 2012: 157).
Sementara itu, Victor Perez-Diaz lebih menekankan pada suatu proses sejarah yang tak terputuskan, terutama di negara-negara sekitar Atlantik Utara, yang telah menciptakan sebuah sistem ekonomi dan politik yang memiliki karakter tertentu yang telah melembaga. Perez-diaz di sini menekankan makna civil society pada keadaan masyarakat yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas, kebebasan, ekonomi pasar, dan timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat yang mandiri, di mana satu sama lainnya saling menopang (Afan Gaffar, 2006: 177-178).
Secara subtantif konsep civil society dijabarkan kedalam pengertian menurut beberapa pakar politik, antara lain (Nasiwan, 2012:158)
1.      Menurut Dawam Raharjo, civil society merupakan suatu ruang partisipasi masyarakat, dalam perkumpulan-perkumpulan sukarela, seperti golongan berdasar profesi, kaum buruh dalam serikat buruh, tani gereja atau perkumpulan atas dasar keagamaan sehingga terbentuk masyarakat etnis , progresif untuk membangun peradaban yang unggul. Beberapa capaian yang menjadi indikator terbentuknya masyarakat madani antara lain bila rakyat memiliki kekuasaan secara kharismatik berupa ketajaman rasio yang nantinya mendorong mereka menuju keadaan yang lebih baik secara umum, berpotensi memanajemen diri sendiri dengan logis dan merdeka, terdapat organisasi yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik, dan berkekuatan dalam 3 aspek inti yaitu agama, peradaban dan perkotaan.
2.      Menurut Franz Magnis Suseno, Indikator masyarakat madani atau civil society adalah pendekatan terhadap rakyat yang diberlakukan adalah pendekatan faktual bukan pendekatan normatif, terorganisir dengan rapi, sukarela, swasembada, swadaya, mandiri, terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang dipatuhi rakyat, di mana mereka dibebaskan secara internal, diatur oleh pihak yang dapat menjamin kebebasan segenap warga masyarakat, individu, dan kolektif untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri dalam kehidupan bersama yang didukung konsensus dasar. wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir yang didasari jiwa sukarela, swasembada, swadaya, dengan kemandirian yang tinggi, menjunjung tinggi norma-norma atau nilai-nilai hukum yang dipatuhi rakyat. Atau merupakan wilayah dalam ruang politik yang menjamin keberlangsungan perilaku, tindakan dan refleksi madiri, dan tidak terbatasi kondisi kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik.
3.      Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani berasal dari kata madinah, dalam peristilahan modern, mengarah kepada semangat dan pengertian civil society yang berarti masyarakat yang memiliki sopan santun, beradab dan teratur yang terbentuk dalam negara yang baik. Di dalam Negara ini terdapat kedaulatan rakyat sebagai prinsip kemanusiaan dan musyawarah, terdapat partisipasi aktif dari masyarakat secara aktif dalam proses-proses menentukan kehidupan bersama di bidang politik, rakyat bersikap terbuka, lapang dada, pengertian dan bersedia untuk member maaf terhadap permasalahan yang timbul.
4.      Menurut Riswandha Imawan, masyarakat madani adalah konsep sebuah masyarakat di mana mereka hidup dalam kondisi mampu memiliki etos kerja untuk meningkatkan kualitas diri dan hidupnya dalam penciptaan kreativitas mandiri, dimnana Negara tidak dapat mencampuridengan bebas akan tetapi mereka tetap mematuhi perundangan dan peraturan yang berlaku. Hal ini berangkat dari keinginan rakyat untuk membangun suatu kesejajaran antara warga Negara dan Negara yang berlandas pada prinsip saling menghormati dan menghargai, berkeinginan membangun hubungan konsultatif di antara Negara dengan rakyatnya, warga mampu bersikap dan berperilaku sebagai warga Negara yang bebas dan memiliki keterjaminan hak, dimana hak persamaan dan kesetaraan dijunjung tinggi, memperlakukan semua warga Negara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama.
5.      Adi Suryadi Culla, berpendapat bahwa civil society adalah keadaan suatu masyarakat yang dikelompokkan sehingga membentuk kelompok-kelompok sosial yang memiliki kekuasaan dan sifat otonom terhadap negara.
6.      Fahmi Huwaydi, berpendapat bahwa masyarakat madani merupakan simbol bagi realitas yang dipenuhi berbagai control fakultatif, yang terekspresikan dalam munculnya keberadaan masyarakat, dan mereka menciptakan berbagai serikat dan lembaga non government sebagai kekuasaan tandingan dari lembaga yang berkuasa. Diejawantahkan dalam pembentukan berbagai partai, kelompok, himpunan, ikatan dengan berbagai varian yang tidak memiliki kaitan dengan struktur kenegaraan.
7.      Ernest Gellner berpendapat bahwa civil society adalah masyarakat terbangun atas dasar berbagai NEGO (Non Government Organization) yang bersifat otonom dan tangguh untuk menjadi penetral kekuasaan Negara. Mereka tidak tersentuh herarki politik, ekonomi, ideology yang tidak mentolerir adanya kompetisi, bervisi plural dalam memaknai kebenaran dan menentukan parameter kebenaran secara bersama-sama, terdapat desentralisasi pada segenap aspek kehidupan, terciptanya tatanan sosial masyarakat yang harmonis, dan bebas dari segalabentuk ekspoitasi terlebih penindasan, tidak memerlukan penguatan yang bersifat memaksa, sehingga di sini pemerintah berfungsi sebagai pencipta dan penjaga perdamaian di antara berbagai kepentingan.
Terdapat lima poin penting dalam civil society, antara lain (Nasiwan, 2012:161):
1.      Partisipasi rakyat, rakyat dalam sebuah masyarakat madani tidak akan bergantung secara penuh terhadap Negara, akan tetapi ia akan berupaya meningkatkan kualitas hidup dan dirinya secara mandiri. Mereka lebih memilih untuk menentukan masa depannya sendiri, bahkan tidak terlalu bergantung pada segala bentuk program pemerintah yang merupakan sebentuk stimulant bagi bangkitnya kesadaran swadaya, swasembada rakyat.
2.      Otonom, artinya sebagai masyarakat yang berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, selalu mngembangkan daya kreatifitas untuk memperoleh kebahagiaan dan memenuhi tuntutan hidup secara bebas dan mandiri, dengan tetap mengacu pada perundangan dan hukum yang berlaku.
3.      Tidak bebas nilai, masyarakat madani sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan agar apa yang dikerjakan selalu berada dalam jalur kebajikan dan menghasilkan dampak positif yang membangun dirinya (masyarakat) secara umum, yang bersumber pasa sisi-sisi religi, unggah-ungguh yang berlaku, menjelma dan mengakar dalam budaya masyarakat.
4.      Menjunjung tinggi rasa saling menghargai, menghormati dan menerima segala bentuk perbedaan (pluralitas), sehingga dalam kedamaian sosial yang dibangun terpancar keindahan ragam perbedaan yang memperkaya budaya dan menjadi nilai lebih yang positif, masyarakat madani haruslah meletakan permasalahan di atas perbedaan, sehingga tidak ditemui pertikaian antar kelompok yang berbau SARA.
5.      Terwujud dalam badan organisir yang rapi, modern dalam upaya penciptaan hubungan stabil antar elemen masyarakat.
Berbicara masalah civil society berarti tidak melupakan transformasi sosial, sebagi manifestasi langkah yang diambil dan ketertekanan yang mendalam akibat hegemoni yang berkuasa, sehingga masyarakat berkumpul untuk membentuk kekuasaan tandingan, untuk menuntut suatu  keadilan sosial. Langkah ini dianggap sebagai tanggapan langsung dari arus bawah terhadap rezim yang berkuasa, kemudian kekuatan sosial yang terbangun atas keluasan gerakan, jaringan dan organisasi dengan tujuan tertentu.  Arus bawah cenderung memilih langkah frontal untuk merealisasikan cita-citanya terhadap kekuasaan politis dengan berbagai aksi yang dilancarkan seperti demonstrasi, mogok makan atau mogok kerja secara kolektif, berbeda lagi dengan langkah yang diambil oleh para seniman, mereka menyuarakan keresahan melalui kekuatan tulisan mereka dengan melancarkan berbagai kritik, dan terdapat mereka yang memilih bergerak dalam wadah LSM. Lalu pendewasaan masyarakat sipil dengan memperkuat wilayah religi atau gerakan tidak dengan kekerasan agar pemerintah sebagai subjek sekuritas perdamaian tidak terhalangi dalam melaksanakan kewajibannya (Nasiwan, 2012: 162).
Civil Society sebagai proyek peradaban dan pembangunan dapat direalisasikan terutama oleh tiga agen utama, mereka adalah golongan intelektual atau mahasiswa sebagai perubah pada aspek sosial politik, melalui berbagai ide inovatif kreatif mereka dan sikap-sikap anti kemapanan, lalu golongan kelas menengah yang akan diposisikan sebagai modal kekayaan demokratisasi dalam sebuah negara, kemudian golongan arus bawah, merekalah yang kelak menjadi sumber kekuatan, sekaligus sebagai sasaran dan tujuan pemberdayaan politik. Selain itu, dibutuhkan adanya organisasi sosial politik sebagai wadah kelompok kepentingan dengan kemandirian yang tinggi, dibutuhkan juga public sphere atau ruang gerak yang memadai untuk rakyat agar memiliki akses pada lembaga-lembaga administrasi Negara, lembaga peradilan dan perwakilan maupun NGO (Nasiwan, 2012:162-163).
Peran NGO sebagai lembaga yang tidak menggantungkan diri pada pemerintah, terutama dalam support capital dan sarana prasarana, organisasi ini merupakan sebentuk komitmen kepedulian warga negara terhadap beagai persoalan yang dihadapi rakyat di berbagai aspek. Menurut Affan Gafar (Nasiwan, 2012: 163), beberapa peran NGO:
1.      Katalisasi perubahan sistem
2.      Mengawasi jalannya sistem penyelenggaraan negara beserta metode yang digunakan danmelakukan aksi protes pada titik ekstrem
3.      Menjadi fasilitator dalam rekonsiliasi warga negara dengan lembaga peradilan
4.      Mengimplementasikan program pelayanan masyarakat
Pada prinsipnya civil society merupakan cerminan masyarakat yang mandiri dan tidak terikat pada kekuasaan negara, ketercapaian dibangunnya suatu masyarakat madani dapat dengan masif dilaksanakan terutama oleh para pelaku NGO, sebagi instrument demokratisasi yang bergerak semata demi pemberdayaan masyarakat dan redemokratisasi rezim otoriter yang berkuasa. Akan tetapi peran ini tidak berfungsi tanpa partisipasi dari bagian lain karena perwujudan demokrasi menurut Huntington merupakan proses multifaced sehingga melibatkan banyak elemen (Nasiwan, 2012: 165).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses redemokratisasi adalah implikasi kekuasaan rezim otoriter pada sistem politik yang berlaku. Dalam gerak poltisnya rezim otoriter cenderung mengalami transformasi secara fundamental yang mencakup hal-hal dibawah ini (Nasiwan, 2012: 165):
1.      Timbul berbagai konflik dan pemilahan terhadap masyarakat sipil
2.      Redefinisi kepercayaan dan kesetaan politik warga negara
3.      Pemberlakuan kebijakan yang pada substansinya mempersempit ruang gerak kaum buruh dalam serikat-serikatnya
4.      Membatasi wilayah kerja partai politik
5.      Redefinsi kebijakan umum
6.      Melakukan beberapa perubahan mendasar dalam aturan serta kegiatan pemilu.
Alfred Stephan menawarkan strategi yang dapat ditempuh untuk meralisasikan redemokratisasi (Nasiwan, 2012: 166) antara lain:
1.      Penjajahan eksternal dan disintegrasi internal
2.      Transformasi internal dari elite rezim otoriter kepada rezim demokratis
3.      Kekuatan internal kelompok oposisi yang mampu menumbangkan rezim otoriter yang mampu berkuasa.
Terdapat empat kelompok strategi yang dibentuk untuk redemokratisasi, mereka adalah penghentian pemerintahan rezim otoriter dengan rakyat sebagai pemrakarsa, kemudian pakta yang didirikan oleh partai politik, lalu pemberontakan terorganisiroleh kaum reformis, dan perang revolusi dalam pengaruh ideologi marxisme (Nasiwan, 2012: 166).
Atas dasar pengaruh agama secara fundamental terhadap cendekiawan muslim, yaitu berupa timbulnya kesadaran mengenai pandangan bahwa untuk merealisasikan aspitrasipolitisnya tidak harus melalui politik formal. Gerakan agama dalam masyarakat tudak hanya terbatas pada peranan agama sebagai landasan ideologi politik, kekuasaan Negara atau pun penguasaan politik, akan tetapin ia juga berperan pada pedoman moral masyarakat dan sumber semangat perwujudan keadilan sosial dalam civil society.  Mengenai perihal civil society sendiri masyarakat muslim telah memiliki konsep civil society jauh sebelum kosnep civil society dicetuskan oleh kalangan ilmuwan politik Eropa, dalam bentuk senyatanya ketika Rasulullah SAW beserta para Khurafaur Rasyidin memimpin kehalifahan di Madinah, bahkan istilah civil society sendiri dalam versi Indonesia menyerap istilah dari bahasa Arab yaitu masyarakat madinah yang kemudian lebih akrab kita kenal dengan istilah masyarakat madani (Nasiwan, 2012: 167)
Gerakan agama dalam  masyarakat tidak hanya terbatas pada peranan agama sebagai landasan ideologi politik, kekuasaan negara atau pun penguasaan politik, tetapi ia juga berperan dalam pedoman dalam pedoman moral masyarakat dan sumber semangat perwujudan keadilan sosial dan civil society. Kesadaran yang bersumber pada agama terhadap kehidupan sosial masyarakat menjadi akar semangat pergerakan yang memilih untuk berkecimpung di wilayah politik formal, maupun yang memilih untuk bergerak pada social empowerment. Gerakan ini merupakan cerminan bangkitnya kesadaran sosial dan kritik laten masyarakat pada pengaruh modernitas atas modernisasi yang berlaku pada masyarakat. Gerakan agama bisa menjelma menjadi gerakan reformis atau reaksioner. Hal ini disebabkan bila mereka berhasil atau gagal dalam menerjemahkan persoalan sosial politik serta member solusi sekaligus. Gerakan reaksioner yang timbul lebih merupakan dampak dari monopoli klaim kebenaran (Nasiwan, 2012: 167).
Peranan agama dalam pembentukan civil society yakni agama berkemampuan untuk membimbing dan menyiapkan masyarakat untuk lebih berani berpartisipasi politik, mewujudkan keadilan sosial, dan bangkit melawan penindasan terhadapnya. Agama juga mampu menguatkan dan menambah corak varian diskursus dialektis mengenai masyarakat madani dengan memahamkan hak yang esensinya mengarah pada keadilan sosial dan keterjaminan HAM, seperti dalam gagasan-gagasan mengenai etika kerja, persamaan hak, keadilan sosial, kemerdekaan dalam kesantunan dan kepatuhan perundang-undangan yang berlaku, dengan sumber internal kualitas hubungan transendental individu (Nasiwan, 2012: 168).
Beberapa sumbangan penting dari pemikiran Islam sebagai agama yang mengakar dan dianut mayoritas masyarakat Indonesia dalam membangun civil society (Nasiwan, 2012: 168-169) di antaranya, berupa:
1.      Pemahaman secara mendalam permasalahan modernirtas dan modernisasi sebagai dampak dari sekulerisasi, ada tiga pemahaman mengenai sekularisasi antara lain sebagai pembedaan wilayah keagamaan dengan urusan yang profane sebagai cirri khas dari modernisasi. Dekandensi keyakinan akan Tuhan den keimanan, lalu yang terakhir adalah memandang dan memperlakukan agama sebagai urusan pribadi.
2.      Merevitalisasi amal ibadah keagamaan praktis dalam masyarakat, sebagai panetral sekulerisme yang mengesampingkan urusan agama secara tegas. Dengan kembali mewacanakan nilai-nilai keislaman yang berkaitan dengan toleransi, perlindungan HAM, persamaan kedudukan, keadilan, sikap seimbang yang akan menopang diwujudkannya masyarakat madani dalam aktualisasi nilai-nilai tersebut.
3.      Partisipasi aktif para intelektual dan aktivis muda muslim dalam berkontribusi untuk memberdayakan masyarakat.
4.      Memperbesar porsi partisipasi umat islam dalam civil society di tingkat global.
Beralih pada pokok persoalan dengan cendekiawan sebagai sentra diskursus civil society. Cendekiawan memiliki peranan strategis sebagai konseptor strategi penguatan civil society dalam pembentukan sosial masyarakat yang juga melaukan pendekatan transformatif (Nasiwan, 2012: 169).

C.    Hubungan antara State (Negara) dengan Civil Society (Masyarakat Madani)
1.      Teori Pola Hubungan Negara dan Masyarakat Dilihat dari Perspektif Paham Kemajemukan
Menurut paham ini, fungsi negara adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, yang titik perhatiannya ditujukan kepada pluralitas yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam paham ini tidak ada kaum yang dominan; semua sejajar. Pun, dalam penyelesaian suatu permasalahan antar kaum acapkali dilakukan upaya-upaya kompromi, tawarmenawar, membentuk koalisi, pertukaran terbatas dan pertukaran umum. Di sini, negara berfungsi sebagai fasilisator (Nasiwan, 2012: 169).
Masyarakat dengan asumsi mereka telah membayar pajak yang digunakan untuk proses kegiatan pemerintahan maka berhak melakukan pengawasan secara langsung terhadap jalannya pekerjaan pemerintahan untuk melayani kepentingan dan kebutuhan publik. Dalam paham ini ditangkap bebrapa poin penting antara lain mengenai kemajemukan di mana masing-masing varian kepentingan dengan landasan SARA atau pun alasan lain yang melandasi sekelompok manusia berhimpun atas dasar suatu persamaan, menciptakan suatu atmosfer yang dipenuhi semangat partisipasi politik tiap kelompok, sehingga justru posisi negara sebagai pembuat kebijakan terancam terdiskreditkan dengan desakan berbagai kepentingan yang bila tidak dapat terakomodir dengan baik akan menimbulkan berbagai manuver yang menyebabkan chaos. Akan tetapi, dengan kondisi di mana seluruh elemen masyarakat mempercayakan pemrograman akomodasi segala kepentingan dan kebutuhan dengan adi pada negara, sebenarnya dapat dikatakan peran negara sangat dominan (Nasiwan, 2012: 169-170).
Dari paham ini, negara  dicita-citakan sebagai sarana mencapai kesejahteraan hidup, di mana kepemimpinan berada di tangan banyak elemen yang bervariasi atau berada pada banyak perwakilan sehingga tidak terjadi kesenjangan kelas sosial, dan diupayakannya secara serius terciptanya kelas menengah untuk mereduksikan kecenderungan terjadinya konflik yang sangat besar (Nasiwan, 2012: 170).
Dalam pengertian masyarakat madani, pola hubungan masyarakat dengan negara, sangat menjunjung eksplorasi potensi dan aspirasi masyarakat, sehingga akses rakyat kepada negara tidak terdiskreditkan seperti pada teori Marx. Selain itu, para negarawan yang menduduki jabatan politis dan menjadi pemerintah secara apresiatif terbuka dalam menerima segala bentuk aspirasi dan mampu mengolah berbagai kepentingan yang ditonjolkan lalu mereka akan dengan segera memutuskan dan mengambil beberapa langkah konkret untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan tersebut yang terformulasi dalam program-program pemerintahan, sehingga tercipta dan terakomodirnya kebutuhan masyarakat secara adil dan bijaksana (Nasiwan, 2012: 170).
Di sini terdapat juga sesuatu dengan istilah elit kekuasaan dan merupakan kritik yang dikemukakan oleh Mills kepada kaum pluralis, menurut Hunter elit kekuasaan yang dipahaminya, yaitu negara digerakkan oleh kalangan tertentu, kekuasaan ini berasal dari hal yang sifatnya didasarkan kepada rasa hormat dan pengaruh informal pada sekelompok kecil yang memiliki keunngulan dan kualitas SDM dan menjadi bagian terbaik dari masyarakat, merekalah kaum elit yang mampu meraih sumber-sumber kekuasaan. Kalum elit ini dengan kualitas superior mereka, justru semakin memperlebar kelas sosial yang telah ada, dan memarginalisasi kelompok lain, terutama mereka yang tidak mampu berkontribusi di kancah perpolitikan dalam skala besar. Mereka adalah kaum minoritas yang secara tidak sengaja  tersisih dan terdiskreditkan keberadaannya, hanya karena tidak memiliki kecakapan dalam memimpin ataupun menjalankan kontrol politik (Nasiwan, 2012: 171).
Menurut Michels dalam konsep fikiran masyarakat, mayoritas manusia berwatak apatis, malas dan berjiwa budak, serta senantiasa tak mampu memaksa dirinya sendiri, dengan kondisi demikian akan memudahkan kaum elit mengambil berbagai keuntungan politis, demi menjaga keberlanjutan kekuasaannya, dengan mudah mereka menggunakan metode pembodohan yang efektif semacam pidato persuasif, yang bermain di wilayah sentimentil. Terdapat dua tipe kaum elit, yaitu mereka yang memimpin dengan kelicikan dan mereka yang memimpin dengan cara yang memaksa, kesemuanya tidak ada yang bersifat positif. Jika suatu masa elit yang sedang berkuasa kehilangan kemampuan menjalankan fungsi pelayanan terhadap masyarakat posisinya akan diambil alih oleh kekuatan sosial lain yang juga elit, sehingga dalam dinamika kehidupan bernegara kaum pluralis memandang bahwa perubahan adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Nasiwan, 2012: 171).
Yang merekatkan hubungan antara berbagai kelompok sosial yang tumbuh dan berkembang serta hubungan mereka dengan negara menurut Eisenstadt, yang mengikat mereka satu sama lain adalah kehadiran lembaga-lembaga tertentu dan kehadiran ideologi. Lembaga tersebut yang paling utama adalah lembaga perwakilan, apakah itu yang namanya partai politik ataupun parlemen, lembaga peradilan, serta lembaga penyalur aspirasi yang lain seperti media massa, di mana informasi politik yang relevan dan penting dapat disebarluaskan kepada khalayak. Yang paling penting diperhatikan adalah, lembaga-lembaga tersebut harus terlepas dari dominasi negara, atau sekelompok orang tertentu, atau kelas tertentu, dan pada gilirannya lembaga-lembaga ini mampu meningkatkan derajat akontabilitas pejabat negara atau penguasa (Afan Gaffar, 2006: 184).
Masalah yang berkaitan dengan  ras, etnisitas, agama, ideologi, dan lain-lain, atau apa yang kita namakan sebagai identitas kebersamaan, merupakan faktor yang harus selalu dipertimbangkan dalam mengamati derajat keberadaan civil society dalam sebuah negara (Afan Gaffar, 2006: 185).

2.      Teoritisasi Interplay Proses Kointegrasi Indonesia dengan Struktur Religio-politik Islam
Krisis multidimensi yang menimpa bangsa Indonesia semenjak medio 1997 sampai 2003 yang sudah berlangsung lima tahun memberikan inspirasi serta menghentakkan kesadaran intelektual untuk menanyakan lebih mendalam, tajam, sekaligus kritis tentang suatu persoalan yang sangat mendasar yakni tentang eksistensi negara Indonesia, inheren di dalamnya bangnan politik Indonesia sebagai suatu nation state (Nasiwan, 2012: 174).
Urgensi untuk hadirnya pemikiran alternatif berupa perspektif teori yang orisinal mengingat seiring dengan berhembusnya era globalisasi yang dimulai pada akhir abad ke-20 yang membuat dunia mengalami perubahan besar-besaran dan fundamental, melingkupi bangunan politik negara, bahkan sampai muncul ungkapan bahwa era globalisasi adalah merupakan “the end of the nation-state”. Oleh karenanya, merupakan tuntutan yang mutlak upaya pencerdasan dan pencerahan bangsa di Indonesia. Hal demikian terjadi karena sejak 40 tahun lebih bangsa Indonesia dalam masalah pencerdasan otak sebagai dimensi kognitif sudah lama tercemar oleh budaya politik yang serba hegemonik dan otoritarian. Akibatnya sangat parah, otak manusia Indonesia telah menjadi tawanan kepentingan politik sesaat melelui berbagai bentuk indoktrinasi yang melelahkan dan akhirnya melumpuhkan. Hanya sedikit orang Indonesia yang mampu mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan kreatifnya (Nasiwan, 2012: 175-176).
Bangunan politik Indonesia hingga awal abad ke-21 belum menunjukkan sebagai sebuah bangunan politik yang mendapatkan dan memiliki dukungan dari basis-basis nilai yang hidup dan berkembang di Indonesia. Bangunan politk yang secara resmi diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bahan-bahan bakunya tidak dapat dilepaskan dari tiga unsur dasar yakni: pertama, peradaban asli (indegenous) Indonesia mulai goyah, belum mendapatkan tempat berpijak yang kokoh; kedua, pengaruh peradaban Islam; ketiga, pengaruh peradaban Barat yang hadir melalui penjajahan (Nasiwan, 2012: 176).
Strukur sosial politik masyarakat Indonesia setelah mengalami perkawinan dengan pengaruh Barat yang dipaksakan melalui proses kolonialisasi perkembangannya mengalami keterputusan rantai sejarah peradaban, termasuk musnahnya negara-negara pribumi dan akhirnya mengidap kelemahan mendasar yaitu memiliki jarak dengan budaya asli Indonesia, termasuk di dalamnya juga bangunan politik Indonesia yang lebih terasa tipikalnya sebagai barang impor. Mungkin tidak berlebihan jika kondisi negara Indonesia yang demikian sampai hari ini dilukiskan sebagai the floating state (Nasiwan, 2012: 177).
Ketercerabutan bangunan politik Indonesia secara menonjol ditandai oleh tiga karakter yang saling memotong, yaitu: pertama, adanya penolakan dari sebagian kalangan bangsa Indonesia baik secara terang-terangan maupun terselubung terhadap kehadiran wajah Indonesia yang sekuler (nation state). Kedua, penolakan terhadap khazanah tradisi politik yang diambil dari Indonesia atau yang dianggap berasal dari Indonesia untuk dijadikan model bagi bangunan politik Indonesia. Ketiga, bahwa sebagian warga bangsa Indonesia juga menolak model bangunan politik Indonesia yang berasal dari Islam, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah Indonesia (Nasiwan, 2012: 178).
Kondisi-kondisi yang sudah disebutkan di atas dalam perjalanannya telah membawa Indonesia mengalami stagnasi. Bangunan politik dan dan perangkatnya menjadi tidak berdaya untuk menggerakkan bangsa Indonesia kea rah kehidupan bangsa yang jaya, makmur dan stabil (Nasiwan, 2012: 175).
Sebuah kerja intelektual untuk melakukan teoritisasi tentang negara Indonesia sebagai nation state dari floating state menuju Indonesia Baru, menurut Nasiwan (2012: 180) memiliki makna yang sangat strategis dalam ikut serta memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia untuk dapat keluar dari krisis multidimensi.

a.      Wacana Teoritisasi Floating State
Kajian tentang teoritisasi ini dengan mengambil topic “Teoritisasi Bangunan Politik Indonesia, dari Floating State menuju Bangunan Indonesia Baru: Suatu Kajian tentang Proses Integrasi Negara Indonesia dengan Struktur Religio-Politik Islam dan Politik Lokal 1945-2004” termasuk dalam lingkup riset bidang ilmu politik, sosiologi agama, dan sejarah Islam (Nasiwan, 2012: 180).
Titik tekan kajian ini untuk mengembangkan konstruksi teoritis yang orisinal serta memiliki kemampuan untuk memahami dan menjelaskan berbagai fenomena kemasyarakatan dan kemanusiaan yang berkembang khususnya di Indonesia. Dalam konteks kajian ini yakni suatu konstruksi teoritis orisinal di bidang ilmu politik, akan berkaitan dengan kajian yang mengambil objek matter negara. Pengambilan objek tersebut terinspirasi oleh adanya fenomena bahwa semenjak bergulirnya era Reformasi yang telah memposisikan negara dalam keadaan lemah, bahkan terapung “floating state”. Lebih dari itu, negara telah dan sedang mendapatkan resistensi dari berbagai kekuatan politik local,kekuatan politik lama (sisa kerajaan), kekuatan adat, kekuatan politik yang bersumber pada struktur religio-politik (Nasiwan, 2012:180).

b.      Indonesia: Floating State
Kerangka teoritis mengapa Indonesia mengalami floating state dapat dihampiri dari dua hal penting: pertama, problem institusional yang dialami oleh negara Indonesia dalam proses menjadi Indonesia.untuk keperluan tersebut dapat dilakukan melalui pelacakan dan pembacaan ulang sejarah proses terbentuknya negara Indonesia secara kritis. Kedua, dengan mencermati tahapan-tahapan integrasi negara Indonesia dengan elemen-elemen lain yang memepengaruhi eksistensi negara Indonesia. Dalam konteks proses integrasi tersebut masih jauh dari selesai (Nasiwan, 2012: 188-189).
Model penghampiran yang pertama, melalui institusionalisme diuraikan dalam paparan berikut ini. Kerangka teoritis yang diajukan untuk menjadi pijakan dalam pembahasan permasalahan yang kedua tentang model tahap-tahap integrasi negara Indonesia dengan struktur religio-politik Islam. Jika dilihat dari perkembangan pembentukan struktur sosial di Indonesia sebelum Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hal tersebut adalah struktur sosial masyarakat Indonesia yang mendapatkan pengaruh dari ajaran Islam seperti Demak, Mataram Islam, Kerajaan Banten, partai-partai Islam seperti Masyumi, Ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, yang semuanya itu sudah ada dan hidup sebelum Indonesia yang berupa negara kebangsaan diproklamirkan. Baru kemudian mulai awal abad ke-20 timbul gerakan kemerdekaan yang mendasarkan gerakannya pada ideology nasionalisme yang kemudian terlembaga dalam bentuk partai politik yang beraliran nasionalis seperti PNI, Gerindo, dan Perhimpunan Indonesia (Nasiwan, 2012: 189).
Kerangka teoritis, tentang model integrasi antara negara nasional dengan struktur religio-politik Islam. Model-model integrasi negara dengan struktur religio-politik ada beberapa model sebagai berikut; model pertama, negara mendominasi struktur religio-politik Islam, posisi struktur religio-politik Islam hanya menjadi subsistem dari sistem politiknasional. Model seperti ini membuka peluang perasaan tidak puasa dan termarginalkan. Hal tersebut secara akumulatif memberikan kemungkinan munculnya pembangkangan atau apatisme politik. Model integrasi politik dengan posisi negara mendominasi secara bertahap mereduksi pengaruh struktur religio-politik Islam dari struktur negara Indonesia, sebagaimana telah terbukti gagal melalui eksperimen politik politik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Model integrasi politik sebagimana yang dikemukakan memiliki kelemahan mendasar untuk diterapkam bagi rekonstruksi bangunan politik ala Indonesia Baru. Hal tersebut dikarenakan adanya bias perspektif teori yang diimpor dari perspektif teori politik Barat yang ternyata tidak memiliki kompabilitas dengan kehidupan politik di Indonesia (Naiswan, 2012: 193-194).
Model kedua, integrasi struktur religio-politik dengan posisi Islam yang mendominasi negara nasional, model ini untuk kasus Indonesia belum bisa diterima oleh sebagan intern kalangan Islam maupun kalangan non-Islam. Eksperimen model seperti ini akan membutuhkan suatu perubahan yang sangat mendasar. Pada struktur politik Indonesia yang yang berarti pula membutuhkan suatu revolusi sebagaimana terjadi di negara seperti India yang kemudian terpecah menjadi Pakistan dan Bangladesh. Untuk konteks Indonesia model integrasi dengan posisi Islam yang lebih mendominasi berdasarkan pengalaman politik dalam sidang-sidang BPUPKI, PPKI, dan sidang-sidang Konstituante serta dukungan publik masyarakat Indonesia sebagaimana tercermin dalam hasil Pemilu 1999, dapat dibaca bahwa arus utama aspirasi politik di Indonesia belum bisa menerima model tersebut (Nasiwan, 2012: 194)
Model ketiga, antara kekuatan Islam dan negara sama-sama melakukan proses moderasi. Pada awalnya proses integrasi itu merupakan hasil inisiatif negara yang diwakili oleh pemerintah Indonesia sampai titik tertentu sampai ada keseimbangan yang harmonis untuk membangun consensus yang lebih permanen. Setelah tahap ini dilampau, maka peluang struktur religio-politik Islam untuk melakukan integrasi pada struktur politik nasional yang berangkat dari kesadaran rasional yang ekuivalen juga dengan keyakinan agamanya ada peluang terwujud. Setelah melampaui dua tahap ini, maka peluang untuk muncul proses moderasi resiprokal antara struktur religio-politik dan struktur politik nasional untuk melahirkan suatu bangnan politik Indonesia Baru yang mendapatkandukungan serta tempa berpijak dari nilai-nilai yang hidup pada hati kesadaran bangsa Indonesia secara bertahap dapat direalisasikan (Nasiwan, 2012: 194-195).









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat (Miriam Budiardjo, 2010: 47).
Jadi civil society dapat dipahami sebagai sebuah ruang (space) sebuah negara, di mana di dalamnya hidup sekelompok individu dengan semangat toleransi yang tinggi dalam jalinan komunikasi dan interaksi yang sehat, serta terwujudnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan public (Nasiwan, 2012:157).
Yang merekatkan hubungan antara berbagai kelompok sosial yang tumbuh dan berkembang serta hubungan mereka dengan negara menurut Eisenstadt, yang mengikat mereka satu sama lain adalah kehadiran lembaga-lembaga tertentu dan kehadiran ideologi (Afan Gaffar, 2006: 184).

B.     Kritik dan Saran
Tentunya makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu penyusun mengharapkan kritikdan saran yang membangun  dari pembaca perbaikan makalah ini da makalah-makalah selanjutnya sehingga bias dapat diminimalisir.











DAFTAR PUSTAKA


Abu Daud Busroh . 2009. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Akasara. Cetakan ke-enam.
Afan Gaffar. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cetakan keenam.
Cholisin.2013. Ilmu Kewarganegaraan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ekram Pawiroputro. 2007. Diktat: Pengantar Hukum Internasional. Yogyakarta:____.
Nasiwan, 2012. Teori-Teori Poiltik. Yogyakarta: Ombak.
Miriam Budiardjo. 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sugeng Istianto. 2014. Hukum Intenasional. Yogyakarta:Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sunarso dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan PKN untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar