Senin, 04 Januari 2016

contoh makalah hukum agraria "pembebasan tanah"



Tugas Makalah
Hukum Agraria
“Pembebasan Tanah”



Disusun oleh:
Erni Kuswulandari Suwarno
12401241003
PKnH “A”




FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI INDONESIA
2013/2014
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut para ahli tanah, tanah adalah tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar permukaan planet bumi yang memiliki sifat sebagai hasil interaksi kegiatan iklim dan jasad hidup terhadap bahan induk dalam keadaan relief (topografi) tertentu selama jangka waktu tertentu pula. Tanah adalah salah satu sumber daya alam yang penting saat ini, mengingat saat ini, populasi manusia terus meningkat sementara luasnya tidak pernah bertambah. Bukan hanya sebagai sarana membangun tempat tinggal, akan tetapi dari tanah bisa didapatkan bahan makanan, pakaian, dan kebutuhan primer lainnya. Akibatnya pemilikan dan penggunaan tanah sering kali menjadi sengketa yang dikarenakan tidak dimilikinya dasar hukum yang kuat sebagi pegangan.
Hukum tanah merupakan salah satu hukum yang belakangan ini menyentuh kehidupan orang banyak. Banyak sekali kasus mengenai pertanahan seperti pencabutan hak milik, pemggusuran, pembebasan tanah, dan sebagainya. Tanah sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan, serta merupakan sumber daya alam yang langka itu rentan diperebutkan oleh berbagai pihak. Banyak konflik yang bersumber pada perbedaan kepentingan, nilai, data, dan sebaginya. Mengetahui tentang masalah tanah untuk itu sangat diperlukan, terutama mahasiswa jurusan PKn yang mempelajari masalah hukum agraria.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana status hak milik atas tanah dan aspek hukumnya?
2.      Bagaimana perkembangan hukum pertanahan dan kebijakan pertanahan?
3.      Apa dan bagaimana pembebasan tanah itu?

C.    Tujuan
1.      Memahami status hak milik atas tanah dan aspek hukumnya.
2.      Memahami perkembangan hukum pertanahan dan kebijakan pertanahan.
3.      Mengetahui serta memahami apa itu pembebasan tanah.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Status Hak Atas Tanah dan Aspek Hukumnya
1.      Hak Milik
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 20 ayat (1) bahwa, “hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6”. Pengertian hak milik juga diatur dalam Pasal 570 KUHPerdata (Djaja S.Meliala: 2012) bahwa, hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak mengganggu hak orang lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang.
Di dalam sejarahnya hak milik merupakan hak yang tidak dapat diganggu-gugat (droit inviolable et sacre). Namun dalam perkembangannya sifat tak dapat diganggu-gugat tersebut tidak dapat dipertahankan lagi karena sudah ada berbagai pembatasan, seperti pembatasan oleh hukum tata usaha, pembatasan oleh hukum tetangga, tidak boleh menimbulkan gangguan bagi orang lain, tidak boleh melakukan penyalahgunaan hak (misbruik van recht), dan lain-lain.
Menurut Djaja S. Meliala dalam bukunya Hukum Perdata dalam Perspektif BW halaman 116, hak milik memberikan dua hak dasar kepada pemegangnya, yakni:
a.       Hak untuk menikmati kegunaan dari suatu kebendaan, dan
b.      Hak untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya. Dalam konteks ini berarti pemegang hak milik bebas untuk menjual, menghibahkannya, menyerahkan benda yang dimilikinya kepada siapapun juga, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang memaksa dan atau melanggar kepentingan umum, atau hak-hak orang lain. Termasuk pula di dalamnya untuk membebankan, meletakkan hak kebendaan lainnya, menjaminkan, atau mengagungkan benda tersebut sebagai jaminan utang.
Sebagai hak kebendaan, hak milik adalah yang paling sempurna, jadi ciri-ciri dari hak milik antara lain:
a.       Hak milik merupakan hak individu terhadap hak kebendaan yang lain, sedangkan hak kebendaan lain merupakan hak anak terhadap hak milik.
b.      Hak milik dilihat dari segi kualitasnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.
c.       Hak milik bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
d.      Hak milik adalah merupakan hak yang paling pokok (utama), sedangkan hak kebendaan lain hanya merupakan bagian daripada hak milik.
Berdasarkan Pasal 584 KUHPerdata tentang cara memperoleh hak milik atas benda yakni bahwa, hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena kadaluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun surat wasiat, dank arena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk menimbulkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Cara memperoleh hak milik atas benda menurut Pasal 584 KUHPerdata ini dapat dipersingkat yakni:
a.       Pemilikan
b.      Perlekatan
c.       Lampau waktu/ daluarsa
d.      Pewarisan
e.       Penyerahan (Levering).
Badan-badan hukum yang dapat diberikan hak milik berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 (Soedharyono Soimin: 2004), antara lain:
a.       Bank-bank yang didirikan oleh negara.
b.      Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958.
c.       Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah mendengar Menteri Agama.
d.      Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah mendengar menteri sosial.
Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang sudah dipunyai sejak tanggal 24 september 1960 (sebelum berlakunya UUPA), sedangkan sesudah tanggal tersebut diberikan hak guna bangunan atau hak pakai.
Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah maka terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian atas tanah yang diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang di dalam Pasal 22 UUPA (Soedharyono Soimin: 2004) disebutkan:
Ayat (1) terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah.
Ayat (2) selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi karena:
a.       Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan PeraturanPpemerintah.
b.      Ketentuan undang-undang.
Dengan demikian menurut Soedharyo Soimin dalam bukunya Status Hak dan Pembebasan tanah halaman 5 di dalam hukum keagrariaan, tentang cara terjadinya hak milik ini terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah konvensi tanah-tanah bekas eigendom, apabila pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia (tunggal), hal demikian dapat dilihat di dalam ketentuan diktum Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 1 ayat (1) hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
Ayat (2) hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang digunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut di atas.
Ayat (3) hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang di samping warga negara Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 tahun.
Ayat (4) jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak postal atau hak erfpacht maka hak postal erfpacht itu sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 35 ayat (1), yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu postal atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Ayat (5) jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak postal dan hak erfpacht maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak postal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria. Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut undang-undang ini (UUPA).
Sifat memperoleh hak milik (Djaja S. Meliala: 2012) dapat dibedakan menjadi 2 macam:
a.       Secara originair (occupatio), memperoleh hak milik secara asli, tidak berasal dari orang yang lebig dulu memiliki benda itu, misalnya: dalam pendakuan (pemilikan), dan lain-lain.
b.      Secara derivatief (traditio), memperoleh hak milik yang berasal dari orang lain, misalnya melalui jual-beli, warisan, dan lain-lain.
Sedangkan hapusnya hak milik itu terjadi, dikarenakan beberapa hal antara lain:
a.       Karena orang lain memperoleh hak milik itu dengan salah satu cara untuk memperoleh hak milik.
b.      Karena musnahnya benda.
c.       Karena pemilik melepaskan haknya atas benda tersebut.

2.      Hak Pakai
Berdasarkan Pasal 818 KUHPerdata tentang hak pakai dan hak mendiami bahwa, hak pakai dan hak mendiami adalah keduanya hak kebendaan yang diperoleh dan berakhir dengan cara yang sama seperti hak pakai hasil. Hak pakai (Soedharyo Soimin: 2004) adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Hak pakai dibedakan antara barang bergerak dan barang tak bergerak. Hak pakai barang bergerak diatur dalam Buku II KUHPerdata, sedangkan hak pakai barang tak bergerak (tanah) diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang No. 5/ 1960 (Djaja S. Meliala:2012).
Pemberian hak pakai atas tanah itu hanya dapat diberikan (Soedharyo Soimin:2004):
a.       Selama jangka waktu yang tertentu dan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu.
b.      Dengan cuma-cuma dan pembayaran atau pemberian jasa berupa apa pun.
Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Hak pakai dapat diberikan untuk gedung-gedung kedutaan negara-negara asing, selama tanahnya dipergunakan untuk itu, dan juga dapat dibedakan kepada orang-orang dan badan-badan hukum orang asing oleh karena pemberian hak pakai ini diberikan dengan wewenang yang terbatas, artinya diberikan hak itu dalam jangka waktu yang tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, hak pakai yang luas tanahnya tidak melebihi dari 2.000  dan jangka waktunya tidak melebihi 10 tahun dapat diberikan oleh gubernur saja. Secara tegas hak pakai hanya bisa diberikan kepada:
a.       Warga negara Indonesia.
b.      Orang-orang yang berkedudukan di Indonesia.
c.       Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d.      Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Jadi jelas bahwa hak pakai hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia saja atau orang-orang asing yang menjadi penduduk Indonesia atau badan hukum yang mempunyai perwakilan di Indonesia serta perwakilan-perwakilan negara-negara sahabat dapat pula diberikan hak pakai.
3.      Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah (Soedharyo Soimin: 2004) hak untuk mendirikan bagunan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, yang jangka waktunya paling lama adalah 30 tahun menurut Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria. Dan suatu pemilikan hak atas tanah orang lain yang bukan usaha untuk pertanian. Hak guna bangunan dapat diperpanjang 20 tahun, hal ini seperti diatur pada ayat (2) Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menjelaskan bahwa atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunan, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Dalam kaitannya hak guna bangunan ini yang dapat mempunyai atau siapa yang berhak mempunyai hak guna bangunan ini adalah sebagai berikut:
a.       Warga negara Indonesia.
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria).
Hak guna bangunan adalah juga hak-hak yang dapat dipunyai oleh seseorang atau badan-badan hukum maka hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan (pasal 39 Undang-Undang Pokok Agraria) vide Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961, bahwa hak guna bangunan dapat dibenahi dengan hipotek maupun credietverband.
Dengan demikian sepanjang mengenai pemberian hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh orang atau badan hukum dengan hak guna bangunan, adalah hak atas tanah yang terbatas, tidak terpenuhi seperti halnya hak milik, yang dalam hukum keagrariaan merupakan hak terpenuh atas tanah.
4.      Hak Guna Usaha
Soedharyo Soimin (2004: 24), menyebutkan dalam rangka pemberian hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria, selain hak milik maka hak guna usaha adalah merupakan bentuk hak atas tanah yang dapat diberikan kepada pemegang hak. Sedangkan syarat untuk dapat memiliki hak guna usaha adalah sebagai berikut:
a.       Warga negara Indonesia.
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria).
Hak guna usaha hanya untuk warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan tunduk kepada hukum di Indonesia, jadi hanya badan hukum Indonesia yang dapat mempunyai hak guna usaha. Oleh karenanya tanah yang di atasnya melekat hak guna usaha yang jatuh kepada bukan warga negara atau badan hukum Indonesia maka jika tidak dialihkan dalam jangka waktu satu tahun setelah tidak dipenuhi syarat-syarat tentang pemilikan maka haknya menjadi hapus.
Dalam pemberian hak guna usaha ini, tanah-tanah yang dikecualikan adalah:
a.       Dikecualikan dari pemberian hak guna usaha baru, bagian-bagian tanah bekas areal perusahaan-perusahaan besar yang sudah merupakan perkampungan rakyat, telah diusahakan oleh rakyat secara menetap, dan diperlukan oleh Pemerintah.
b.      Apabila di antara tanah-tanah tersebut di atas ada yang perlu dimasukkan ke dalam areal perusahaan kebun yang diberikan dengan hak guna usaha maka tentang hak guna tersebut penyelesaiannya harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, hapusnya hak guna usaha dapat terjadi dikarenakan:
a.       Jangka waktunya berakhir.
b.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu syarat tidak dpenuhi.
c.       Dilepaskannya oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
d.      Dicabut untuk kepentingan umum.
e.       Ditelantarkan.
f.       Tanah musnah.
g.      Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) (Pasal 34 Undang-Undang Pokok Agraria).
Dalam memperoleh hak guna usaha, Pasal 29 UUPA menyebutkan bahwa:
a.       Hak guna usaha dibeikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
b.      Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
c.       Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaanya jangka waktu yang dimaksud tersebut di atas dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.
Gubernur Kepala Daerah member keputusan mengenai permohonan pemberian, perpanjangan jangka waktu atau pembaruan, izin permintaan, dan menerima pelepasan hak guna usaha atas tanah negara jika:
a.       Luas tanahnya tidak melebihi 25 hektar.
b.      Peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras.
c.       Perpanjangan jangka waktunya tidak lebih dari 5 tahun.
Hapusnya hak guna usaha erat kaitannya dengan kewarganegaraan seseorang atau perusahaannya yang berdiri itu sudah tidak lagi tunduk pada hukum Indonesia maka dengan sendirinya haknya akan dihapus karena hukum.
B.     Perkembangan Hukum Pertanahan dan Kebijakan Pertanahan
1.      Aspek Yuridis Penguasaan dan Pemilikan Tanah Perkotaan
a.      Perlunya Pembatasan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Bangunan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan UUPA memberikan kemungkinan bagi negara untuk memberikan hak atas tanah kepada perorangan dan badan hukum sesuai keperluannya. Dengan demikian menurut Maria dan Sumardjono dalam bukunya Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (2008:12), pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas kewajaran jelas merupakan hal yang ertentangan dengan asas landreform yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial berupa pemerataan penguasaan tanah sebagaimana dijabarkan oleh Pasal 7 dan pasal 17 UUPA.
Secara implisit, adanya ketentuan untuk memohon izin pemindahan hak bagi hak-hak atas tanah yang penerima haknya (termasuk yang dipunyai istri/suami, anak-anak yang masih menjadi tanggungannya) telah mempunyai lima bidang tanah atau lebih, menyiratkan adanya pemikiran ke arah pembatasan mengenai luas dan jumlah/ bidang tanah untuk bangunan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 12 UU No. 56/ 1960.
Maria dan Sumardjono (2008:13) mencermati ketentuan Pasal 12 UU No. 56/ 1960, maka menurutnya ukuran maksimum untuk tanah bangunan didasarkan pada luas dan jumlah tanah. Hal ini berarti bahwa bila sudah ditentukan maksimum untuk daerah tertentu sebaiknya dibedakan antara daerah yang dinilai mempunyai arti strategis bagi pembangunan dan daerah yang kegiatan pembangunannya belum berlaku secara intensif, maka kriterianya dapat dipilih antara:
a.1 Menentukan batas luas tertentu (baik untuk tanah yang sudah ada bangunannya maupun yang belum ada), misalnya 5.000  bagi daerah strategis dan 10.000  bagi daerah lain dengan penentuan bidang tanah sekitar lima atay sepuluh bidang, atau
a.2 Hanya menentukan batas luas tertentu tanpa menentukan bidang tanahnya.
Bagi yang terkena peraturan batas maksimum luas tanah bangunan, diwajibkan untuk melaporkan secara tertulis dan kemudian mengupayakan sendiri penyelesaiannya dalam tenggang waktu tertentu. Akan tetapi, bila setelah peraturan ini berlaku efektif terjadi pemilikan dan penguasaan melebihi batas maksimum, terhadap mereka akan dikenai sanksi, yakni tanahnya kembali menjadi tanah negara dan diberi ganti kerugian yang tentunya tidak sama dengan harga pasar, namun sesuai dengan taksiran harganya oleh pemerintah.
b.      Prinsip-prinsip Pengaturan Pembatasan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Bangunan
Menurut Maria dan Sumardjono (2008:15) terdapat dua alternatif pendekatan yang bisa dilakukan dala menyelesaikan masalah ini. Pendekatan pertama bersifat yuridis semata yang akan mengenakan sanksi secara langsung terhadap pelanggaran larangan yang telah ditentukan. Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan cara pengenaan sanksi secara tidak langsung.
Diasadari bahwa sarana pendukung untuk melaksanakan peraturan tentang pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan bangunan tersebut masih perlu ditingkatkan. Akan tetapi, melihat perkembangannya di masa yang akan datang, beberapa hal perlu memperoleh perhatian khusus.
Pertama, adanya kewajiban untuk mendaftarkan tanah. Kedua, perlu diwujudkan pengaturan tentang penelantaran tanah. Ketiga, oleh karena penguasaan tanah yang melampaui batas juga dimungkinkan melalui pemberian kuasa, maka sudah waktunya diwujudkan peraturan tentang pemberian dan penggunaan kuasa di bidang pertanahan sebagai tindak lanjut dari Instruksi Mendagri No. 23/1983 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah.

2.      Hukum Tanah Pasca-Gatt dan Apec: Upaya Harmonisasi Perwujudan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan Kepentingan Investasi
Dalam hubungan antara negara dan warga negara, keadilan sosial mengandung pemahaman bahwa warga negara mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangan kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan umum, dan bahwa negara berkewajiban untuk membagi kesejahteraan kepada warga negaranya sesuai dengan jasa atau kemampuan dan kebutuhan masing-masing secara proporsional. Apabila hal ini diterjemahkan dalam kebijakan pertanahan, maka berbagai ketentuan yang dibuat itu hendaklah memberikan landasan bagi setiap orang untuk mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menerima bagian manfaat tanah, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak. Khususnya dalam konsep keadilan sosial adalah lebih tepat untuk memberikan tempat kepada keadilaan berdasarkan atas kebutuhan.
Untuk hukum tanah, segala kebijakan pertanahan harus bersumber pada UUPA karena prinsip dasarnya atau falsafahnya masih relevan dengan politik pertahanan. Jika harus melakukan penyesuaian karena perkembangan baru, hal itu dapat dilakukan dengan mendasarkan pada konsep atau prinsip dasar/ asas-asas UUPA dan tidak dilakukan dengan asal mengubah, terlebih secara parsial, karena harus selalu diingat bahwa yang terpenting adalah  bahwa kebijakan apapun tidak boleh hanya menguntungkan sebagian kecil rakyat dan merugikan sebagian besar rakyat.
Dalam berbagai kegiatan ekonomi tampil tiga pelaku di dalamnya, yakni negara/pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat, yang masing-masing mempunyai posisi tawar yang berbeda karena perbedaan di dalam akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya alam berupa tanah yang terbatas itu. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi tawar di antara masyarakat dan pihak swasta lebih dikukuhkan dengan adanya kewenangan pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat tersebut dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Untuk hukum tanah, antisipasi terhadap kebutuhan pengaturannya harus dilakukan secara proaktif, akomodatif, tetapi tetap selektif. Perkembangan baru dapat ditampung dan diupayakan jalan keluarnya sesuai dengan bangunan konsep yang ada melalui upaya penemuan hukum berupa analogi dan interpretasi terhadap prinsip-prinsip UUPA beserta kaidah-kaidahnya.

3.      Penyempurnaan Undang-Undang Pokok Agraria
Ada sepuluh prinsip pembaruan agrarian yakni,
a.       Menjunjung tinggi hak asasi manusia.
b.      Unifikasi hukum yang mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat.
c.       Landreform atau restrukturisasi sumber-sumber agraria.
d.      Keadilan dalam pemilikan/ penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
e.       Fungsi sosial dan ekologi sumber-sumber agraria.
f.       Penyelesaian konflik agrarian.
g.      Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah serta kelembagaan pendukung.
h.      Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan.
i.        Usaha-usaha produksi di lapangan agraria.
j.        Pembiayaan program-program pembaruan agraria.


C.    Pembebasan tanah
1.      Aspek Hukum Pembebasan Tanah
Soedharyo soimin telah mengkaji (2004:71) bahwa tidak satu pasal pun persoalan pembebasan tanah, yang dijumpai dalam peraturan yang secara tegas mengatur masalah pembebasan tanah.
Sepanjang mengenai pembebasan tanah, terutama diatur di dalam Peraturan Pemerintah maupun di dalam peraturan menteri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, tentang Ketentuan Mengenai Cara Pembebasan Tanah; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta; Surat Edaran Dirjen Agraria Departemen Dalam Negeri No. BTU. 2/568/2-76 dan banyak lagi yang berupa surat edaran maupun keputusan Gubernur mengenai pembebasan tanah tersebut.
Untuk keperluan Pemerintah, pembebasan tanah harus dilaksanakan oleh Panitia Pembebasan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur atau kuasa Gubernur kepala daerah tingkat I, oleh Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya yang terdiri dari unsur-unsur:
a.       Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggota.
b.      Seorang pejabat dari kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota.
c.       Kepala Kantor IPEDA/ IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.
d.      Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II atau Pejabat yang ditunjuknya, apabila mengenai tanah bangunan dan atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian/perkebunan sebagai anggotanya.
e.       Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota.
f.       Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota.
g.      Kepala desa atau dipersamakan dengan itu sebagai anggota.
h.      Seorang pejabat dari kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai sekretaris bukan anggota.
Apabila di dalam pembebasan tanah tersebut diperlukan seorang ahli, Gubernur dapat menambah panitia pembebasan tanah yang diperlukan.
Dalam rangka pembebasan tanah, apabila telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk/ besarnya ganti rugi maka pembayaran harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya empat orang anggota panitia pembebasan tanah, di antaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan.
Untuk kepentingan swasta yang pada asasnya adalah sejajar dengan kepentingan anggota-anggota masyarakat maka pembebasan tanah untuk kepentingan swasta, pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi yang besarnya ditentukan secara musyawarah. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundangang maupun garis-garis kebijaksanaan Pemerintah mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, diwajibkan kepala Pemerintah Daerah untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan dan pembayaran ganti rugi yang dilakuakn oleh pihak swasta.
Jadi dengan demikian menurut Sodharyo Soimin (2004: 75), kalau pembebasan tanah berpegang pada edaran dirjen Agraria, tidaklah perlu kasus-kasus pembebasan tanah sampai ke DPR. Dalam hal demikian eksekutif haruslah peka terhadap hajat hidup rakyat, dan yang penting hati nurani mereka didengar sebagai pertimbangan di dalam kebijaksanaan Pemerintah.
2.      Pembebasan Tanah dan Aspek Pembangunan
Dalam rangka pelaksanaan pembebasan tanah, telah digariskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang tertuang dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973, bahwa pelaksana pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata-mata, melainkan menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia.
Pembebasan tanah tidak terlepas dari maslah ganti rugi. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/1975, secara tegas disebutkan, pembebasan tanah ialah melepasakan hubungan hukumyang semula terdapat pada pemegang hak (penguasa tanah) dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas tanah-tanah yang dibebaskan berupa:
a.       Tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960.
b.      Tanah-tanah dari masyarakat hukum adat (Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/1975).
Dalam mengadakan penaksiran/ penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/ pemegang hak atas tanah dan/ atau benda/ tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum setempat (Pasal 6 ayat (1) PMDN No. 15/1975).
Dalam pembebasan tanah yang berhak atas ganti rugi ialah mereka yang berhak atas tanah/ bangunan/ tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepada hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Aagraria dan kebiksanaan Pemerintah (Pasal 6 ayat (2) c Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/ 1975).
Pemerintah dalam hal ini juga berperan aktif secara kolektif merupakan unsur-unsur panitia dalam pembebasan tanah yang terdiri dari:
a.       Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggota.
b.      Seorang Pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk oleh Bupati/ Walikotamadya kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota.
c.       Kepala Kantor Ipeda/ Ireda atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.
d.      Seorang yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota.
e.       Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat I atau pejabat yang ditunjuknya, apabila mengenai tanah bangunan dan/ atau kepala dinas pertanian tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai pertanian, sebagai anggota.
f.       Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota.
g.      Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota.
h.      Seorang pejabat dari kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya yang bersangkutan sebagai sekretaris bukan anggota.
Bila perlu oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat ditambah dengan tenaga ahli, seorang yang mempunyai keahlian.
3.      Pembebasan Tanah dengan Ganti Rugi
Dalam hubungannya dengan pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah itu maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan di dalam mengadakan taksiran akan ganti rugi di dalam rangka pembebasan tanah yang akan terkena itu. Sehingga apabila telah mencapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi ini hendaklah secara langsung kepada yang berhak. Setelah itu baru diadakan pelepasan/ penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga apa yang dikhawatirkan akan peranan calo-calo tanah dapat ditekan seminimal mungkin.
Kalau pembebasan tanah secara musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar, antara pemegang hak atas tanah dan Pemerintah, sedangkan tanah itu akan digunakan untuk kepentingan umum maka dapat ditempuh cara seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.
Sebelum tanah akan dibebaskan, maka perlu untuk meneliti tentang tanah yang akan dibebaskan dengan menentukan taksiran ganti rugi. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 adalah suatu panitia yang bertugas melakukan dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan, tanaman, tumbuh-tumbuhan di atasnya yang pembentukannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten dan Kotamadya dalam suatu wilayah provinsi yang bersangkutan. Dengan panitia ini sebenarnya sudah terjawab seberapa jauh harga patokan tanah akan ditetapkan di suatu wilayah.
Sebagai tugas pokok dari panitia ini adalah sebagai berikut:
a.       Mengadakan invebtarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanaman, tumbuh-tumbuhan dan bangunan-bangunan.
b.      Mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan serta tanaman.
c.       Menaksir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak.
d.      Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa pertimbangannya.
e.       Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman tersebut.
Dalam rangka pembebasan tanah, panitia harus melakukan tugasnya dengan bersandar pada peraturan-peraturan yang berlaku atas dasar musyawarah dan harga umum setempat (Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/1975, sedangkan harga umum di sini harus melihat kenyataan yang ada di dalam masyarakat dengan melihat pula faktor-faktor tentang letak tanah yang dapat pula mempengaruhi harga tanah, dengan demikian panitia Penaksiran Ganti Rugi Tanah ini akan mewujudkan kemauan para pihak dengan adil serta bijaksana sehingga apa yang kita khawatirkan tentang terjadinya pemerkosaan atas hak-hak warga negara akan dihindarkan.
4.      Hak Banding Pencabutan Atas Tanah
Masalah tanah adalah maslah yang meyentuh hak rakyat yang paling dasar. Tanah, disamping mempunyai mempunyai nilai ekonomis, juga berfungsi sosial. Karena fungsi sosial inilah yang kadang kala kepentingan pribadi atas tanah dikorbankan, guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah dengan mendapat gati rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi dapat juga berbentuk tanah atau fasilitas lain. Misalnya, dipindahkan ke tempat lain yang memang diperuntukkan bagi perumahan dengan mendapat prioritas utama, dan tentunya kalau penggantian ini dengan uang haruslah dengan jumlah yang layak. Harga layak di sini haruslah harga umum menurut undang-undang, yang artinya pantas menurut kesusilaan umum, karena kalau menurut harga pasaran, ini kadang-kadang sudah melalui perantara.
Harga tanah yang dibebaskan itu haruslah yang pantas, yang sifatnya tidaklah terlalu murah. Ini tentunya sangat relatif, sehingga kadang-kadang pemilik tanah merasa tidak puas atas ganti rugi yang bakal diterima.
Pasal 8 dari Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, menyebutkan bahwa bilamana yang bersangkutan tidak dapat menerima jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden, dia dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi yang daerah kekeuasaannya meliputi letak tempat tanah yang dicabut haknya.
Tentang bagaimana acara untuk memeriksa dan mengadili gugatan tersebut, telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1973, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1973 No. 49 yang dikutip secara lengkap.

































BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sepanjang mengenai pembebasan tanah, terutama diatur di dalam Peraturan Pemerintah maupun di dalam peraturan menteri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, tentang Ketentuan Mengenai Cara Pembebasan Tanah; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta; Surat Edaran Dirjen Agraria Departemen Dalam Negeri No. BTU. 2/568/2-76 dan banyak lagi yang berupa surat edaran maupun keputusan Gubernur mengenai pembebasan tanah tersebut.
Untuk keperluan Pemerintah, pembebasan tanah harus dilaksanakan oleh Panitia Pembebasan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur atau kuasa Gubernur kepala daerah tingkat I, oleh Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Untuk kepentingan swasta yang pada asasnya adalah sejajar dengan kepentingan anggota-anggota masyarakat maka pembebasan tanah untuk kepentingan swasta, pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi yang besarnya ditentukan secara musyawarah.
Dalam pembebasan tanah yang berhak atas ganti rugi ialah mereka yang berhak atas tanah/ bangunan/ tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepada hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Aagraria dan kebiksanaan Pemerintah (Pasal 6 ayat (2) c Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/ 1975).
Pasal 8 dari Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, menyebutkan bahwa bilamana yang bersangkutan tidak dapat menerima jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden, dia dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi yang daerah kekeuasaannya meliputi letak tempat tanah yang dicabut haknya.

B.     Kritik dan Saran
Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini dan juga menjadi bahan evaluasi untuk makalah-makalah lain yang nantinya akan dibuat penulis.


DAFTAR PUSTAKA

Soimin, Soedharyo. 2004. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika. Edisi kedua.
Meliala, Djaja. 2012. Hukum Perdata dalam Perspektif BW. Bandung: Nuansa Aulia.
Sumardjono dan Maria. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
­_________________. 2008. Kitab Undang-Undang Perdata. Jakarta: PT. Malta Pritindo. Cetakan ke 39. Penerjemah: Subekti dan Tjitrosudibio.