Senin, 04 Januari 2016

contoh makalah Filsafat Hukum




TUGAS INDIVIDU
FILSAFAT HUKUM
(Contoh Riil Kasus Hukum yang diselesaikan dengan Filsafat Hukum)





Erni Kuswulandari Suwarno               12401241003 
PKnH “A” 2012




FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014/2015


KASUS RAJU’: PERKELAHIAN HINGGA MASUK PENJARA
Posisi Kasus
Karena berkelahi di sekolah masuk tahanan dan disidang. Anak yang belum lagi berusia 9 tahun ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya. Sementara itu kasus ini terus berjalan dengan dalih mengikuti prosedur. Apakan prosedur bisa mengalahkan hati nurani? Ternyata pula ada unsur korupsi dan “peradilan hitam” di balik kasus ini.
Sebenarnya siapakah Raju? Bocah kelas tiga SD bernama lengkap Muhammad Azuar itu hanya anak desa biasa. Kasus Raju memang membuat kita terhenyak. Bagaimana mungkin anak di bawah umur itu didudukkan sebagai pesakitan di persidangan, dipaksa menyimak tuntutan, dan ditahan bersama para tahanan dewasa? ‘’Aku lihat mereka pakai baju hitam, di lehernya warna merah,'’ kata Raju, saat menggambarkan pakaian Tiurmaida Pardede, hakim tunggal yang mengadilinya.
Persoalannya sebenarnya sederhana, perkelahian antarbocah yang dimulai dari olok-olok (Bullying). Raju sendiri tidak lebih dari anak nakal, sebagaimana dibenarkan bocah-bocah desa itu. ‘’Wah, Raju dan abangnya itu sering memukuli kita. Coba tanya anak-anak di sini, pasti mereka pernah di-tokoki(dijitak) olehnya,'’ kata anak-anak itu. Kebiasaan Raju itu juga yang membuat perkara. Akibat adiknya, Iswandi, tidak mau bersekolah karena sering dijitak Raju, Armansyah (Eman) pun terlibat perkelahian dengan penjitak kepala adiknya itu, meski memiliki usia di atas Raju, Eman, anak penderas nira itu, kalah otot dibanding Raju yang dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan.
Wajar saja jika Eman malah ditindih Raju, dan perutnya berkali-kali dihajar lutut adik kelasnya itu. Usaha damai pun sudah dilakukan, Saidah sendiri membenarkan, pada 31 Agustus sore, tahun lalu, rumahnya dikunjungi Ani Sembiring dan anaknya, Eman. Saat itu Ani memberitahukannya soal perkelahian itu. Raju mengakui, perkelahian itu terjadi karena dia terus diejek Eman. ‘’Raju juga luka-luka. Bibirnya sampai pecah, kok,'’ kata Saidah. Saidah mengaku membawa Eman berobat. ‘’Saya sampai keluar uang Rp 75 ribu,'’ kata dia. Hanya, saat Ani dan Eman datang lagi esok harinya, ia mengaku menolak. ‘’Saya tak kasih karena tak sanggup penuhi itu,'’ kata dia. Saidah juga mengatakan, saat itu Ani mengancam akan melaporkan Raju ke polisi. 1 September 2005, dengan sepengetahuan Kepala Desa Paluh Manis, Syamsir Siregar, Ani melaporakn Raju ke polisi. Saidah juga mengaku pernah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pada 3 September 2005 lalu, di Polsek Gebang, Langkat. Saat itu, ia menjelaskan, Raju lahir pada Mei 1997. Jadi ketika perkelahian terjadi, Raju berusia 8 tahun 3 bulan.
Pihak Polsek dan aparat desa pun bukan tanpa usaha mendamaikan. Sayang, tak kunjung berhasil. Awalnya, Ani hanya meminta ganti uang pengobatan kepada keluarga Raju sebesar Rp 500 ribu. Itu pun ditolak Saidah, dengan alasan tak punya uang. Ketiga kalinya, pada 27 Oktober 2005, upaya perdamaian ketiga dilakukan dengan bantuan LSM setempat. Saat itu pihak LSM mengajukan biaya pengobatan ke pihak Saidah-Sugianto sebesar Rp 3 juta (gila, anak berantem aja minta 3 juta). Tentu saja, upaya damai dengan dana yang lebih besar itu ditolak Saidah. Rupanya, berkas terus mengalir ke Kejaksaan Negeri Langkat. Sesuai hasil pemeriksaan anggota Badan Penelitian Kemasyarakatan untuk Sidang Pengadilan Anak (BAPAS), Armin Silalahi, menerangkan Raju bisa diproses di persidangan. Keterangan BAPAS menyatakan, ‘’Apabila terbukti bersalah, agar dapat diberikan tindakan dengn dikembalikan kepada orang tua, dengan pembimbingan diserahkan kepada BAPAS kelas I anak, orang tua, kejaksaan, serta aparat setempat, mengacu pada UU Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak'’. Akhirnya, JPU dari Kejaksaan Negeri Stabat, Langkat, AP Frianto, melimpahkan berkas itu ke pengadilan. Raju dijerat pasal 351 KUHP soal penganiayaan. Persidangan bagi anak dilakukan secara tertutup dengan hakim tunggal Tiurmaida Pardede.
Kasus yang seharusnya diselesaikan dalam keluarga dan sekolah diperpanjang hingga pengadilan. Pengadilan pun tidak melihat kasus ini cacat hukum dengan mesidangkan anak di bawah umur (bahkan sempat menahannya bersama dengan tahanan orang dewasa). Lantas kemana nurani sehingga mengalahkan kepentingan prosedur dan keadilan? Keadilan macam apa?

Analisis
Sidang Raju’ yang Cacat
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:
1.      Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2.      Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak sebagaimana telah dipaparkan diatas  ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain,  Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak(protection child and  fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak.  Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya  dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.  Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua.
Sehubungan  dengan hal ini, criminal justice system memiliki tujuan untuk :  (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial).
Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil dan emosional, maka penanganan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak perlu mendapat perhatian khusus, yang dimulai dati hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana khusus untuk anak yang berkonflik dengan hukum, hak dan kewajiban yang diperoleh anak yang berkonflik dengan hukum, dan bagaimana penanganan yang diberikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, Undang-undang No.3 Tahun 1997 memberikan landasan formil-juridis dalam pembentukan 1embaga Peradilan Anak sebagai lembaga Peradilan Khusus yang berada dalam ruang lingkup Peradilan Umum.
Banyak anak yang berkonflik dengan hukum ternyata mendapat perlakuan sewenang-wenang dati aparat penegak hukum seperti yang terjadi pada Muhammad Azuar alias Raju, yang didakwa atas perbuatan penganiayaan karena berkelahi dengan Armansyah alias Eman yang dilakukan pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2005 bertempat di Gang Antara Desa Paluh Mauis Kec. Gebang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Raju yang masih berusia 8 (de1apan) tahun terpaksa harus mendekam di Rutan Pangkalan Brandan selama beberapa jam bersama tahanan dewasa dan mendapat stigma dari Hakim tunggal yang memeriksa perkaranya sebagai anak nakal. Bahwa dalam menyikapi permasalahan tersebut, perlu diambil langkah bijak yang melibatkan peran pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum dengan menerapkan ketentuan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan merevisi kembali ketentuan-ketentuan dati undang-undang tersebut yang dirasa masih kurang sesuai dalam upaya perlindungan terhadap anak yang berkunflik dengan hukum.

Tentang hakim yang menyidangkan perkara dan ketiadaannya LAPAS anak
Disidangkan dengan hakim tunggal, merujuk pada pasal 11 ayat (1) UU no3 tahun 1997. Yang berbunyi  “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal”. Walaupun dalam ayat selanjutnya bisa dikesampingkan dengan adanaya menggunakan hakim majelis yaitu ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis”.
Dalam hal ini perkara raju bukan merupakan perkara yang mendapatkan penanganan serius dari aparat penegak hukum. Bukan berarti kasus ini tidak penting atau tidak perlu penanganan yang sangat intensif. Akan tetapi meurut penulis kasus rajau ini hanya kasus umum yang biasa dilakukan oleh anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun. Sehingga hakaim sepatutnya bisa memutus dengan seadil-adilnya.
Tentang ketiadaan LAPAS anak di daerah hukumnya sebenarnya tidak terlalu diributkan. Sesungguhnya walaunpun ketiadaan LAPAS anak, akn tetapi bisa ditempatkan bersama orang dewasa. Akan tetapi harus dipisahkan atau di “sekat” dari narapidana orang dewasa, ini merujuk ketidakadaan LAPAS anak di daerah hukumnya.

Putusan yang seharusnya
Raju selayaknya mendapatkan putusan bebas (atau setidak-tidaknya dikembalikan kepada orang tua untuk dibina kemabali bersama kelaurga dan masyarakat), merujuk pada beberapa faktor seperti raju masih dibawah umur, penyidikan/ proses penyelidikan dari awal sudah cacat hukum, tidak adanya LAPAS untuk anak ditempat kasus itu disidangkan. Dan lain sebagainya.
Dengan demikian,  ketentuan  Kovenan sepanjang yang mengatur persoalan  pencabutan kebebasan seseorang secara umum mutatis mutandis berlaku  pada seorang anak yang melakukan tindak pidana. Namun,  apabila terdapat ketentuan yang  ruang lingkup berlakunya secara khusus ditujukan bagi anak-anak, maka ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum yang berbeda.  Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi anak yang dicabut hak-haknya dengan menggunakan legal term”terdakwa/terpidana/orang di bawah umur” (Pasal 10 ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)).   Artinya legal term ini harus dibaca dengan menginterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan anak. Dengan kata lain, anak-anak harus mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hak-haknya sebagaimana semua proseder dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi pelaku kriminal dewasa. Konsekuensi logis dan yuridisnya, negara dibebani kewajiban untuk memberikan perlakuan yang berbeda  antara orang dewasa dan anak yang melakukan suatu tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)).  Dalam perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena kedua instrumen ini telah diratifikasi dengan demikian menjadi hukum positif (Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar