TUGAS INDIVIDU
FILSAFAT HUKUM
(Contoh Riil Kasus Hukum yang diselesaikan dengan
Filsafat Hukum)
Erni
Kuswulandari Suwarno 12401241003
PKnH
“A” 2012
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014/2015
KASUS RAJU’: PERKELAHIAN HINGGA MASUK PENJARA
Posisi Kasus
Karena
berkelahi di sekolah masuk tahanan dan disidang. Anak yang belum lagi berusia 9
tahun ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya. Sementara
itu kasus ini terus berjalan dengan dalih mengikuti prosedur. Apakan prosedur
bisa mengalahkan hati nurani? Ternyata pula ada unsur korupsi dan “peradilan
hitam” di balik kasus ini.
Sebenarnya
siapakah Raju? Bocah kelas tiga SD bernama lengkap Muhammad Azuar itu hanya
anak desa biasa. Kasus Raju memang membuat kita terhenyak. Bagaimana
mungkin anak di bawah umur itu didudukkan sebagai pesakitan di persidangan,
dipaksa menyimak tuntutan, dan ditahan bersama para tahanan dewasa? ‘’Aku lihat
mereka pakai baju hitam, di lehernya warna merah,'’ kata Raju, saat
menggambarkan pakaian Tiurmaida Pardede, hakim tunggal yang mengadilinya.
Persoalannya
sebenarnya sederhana, perkelahian antarbocah yang dimulai dari olok-olok
(Bullying). Raju sendiri tidak lebih dari anak nakal, sebagaimana dibenarkan
bocah-bocah desa itu. ‘’Wah, Raju dan abangnya itu sering memukuli kita. Coba
tanya anak-anak di sini, pasti mereka pernah di-tokoki(dijitak) olehnya,'’ kata
anak-anak itu. Kebiasaan Raju itu juga yang membuat perkara. Akibat adiknya,
Iswandi, tidak mau bersekolah karena sering dijitak Raju, Armansyah (Eman) pun
terlibat perkelahian dengan penjitak kepala adiknya itu, meski memiliki
usia di atas Raju, Eman, anak penderas nira itu, kalah otot dibanding Raju yang
dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan.
Wajar
saja jika Eman malah ditindih Raju, dan perutnya berkali-kali dihajar lutut
adik kelasnya itu. Usaha damai pun sudah dilakukan, Saidah sendiri
membenarkan, pada 31 Agustus sore, tahun lalu, rumahnya dikunjungi Ani
Sembiring dan anaknya, Eman. Saat itu Ani memberitahukannya soal perkelahian
itu. Raju mengakui, perkelahian itu terjadi karena dia terus diejek Eman.
‘’Raju juga luka-luka. Bibirnya sampai pecah, kok,'’ kata
Saidah. Saidah mengaku membawa Eman berobat. ‘’Saya sampai keluar uang Rp
75 ribu,'’ kata dia. Hanya, saat Ani dan Eman datang lagi esok harinya, ia
mengaku menolak. ‘’Saya tak kasih karena tak sanggup penuhi itu,'’ kata dia.
Saidah juga mengatakan, saat itu Ani mengancam akan melaporkan Raju ke
polisi. 1 September 2005, dengan sepengetahuan Kepala Desa Paluh Manis,
Syamsir Siregar, Ani melaporakn Raju ke polisi. Saidah juga mengaku pernah
menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pada 3 September 2005 lalu, di
Polsek Gebang, Langkat. Saat itu, ia menjelaskan, Raju lahir pada Mei 1997.
Jadi ketika perkelahian terjadi, Raju berusia 8 tahun 3 bulan.
Pihak
Polsek dan aparat desa pun bukan tanpa usaha mendamaikan. Sayang, tak kunjung
berhasil. Awalnya, Ani hanya meminta ganti uang pengobatan kepada keluarga Raju
sebesar Rp 500 ribu. Itu pun ditolak Saidah, dengan alasan tak punya uang.
Ketiga kalinya, pada 27 Oktober 2005, upaya perdamaian ketiga dilakukan dengan
bantuan LSM setempat. Saat itu pihak LSM mengajukan biaya pengobatan ke pihak
Saidah-Sugianto sebesar Rp 3 juta (gila, anak berantem aja minta 3 juta).
Tentu saja, upaya damai dengan dana yang lebih besar itu ditolak Saidah.
Rupanya, berkas terus mengalir ke Kejaksaan Negeri Langkat. Sesuai hasil
pemeriksaan anggota Badan Penelitian Kemasyarakatan untuk Sidang Pengadilan
Anak (BAPAS), Armin Silalahi, menerangkan Raju bisa diproses di persidangan.
Keterangan BAPAS menyatakan, ‘’Apabila terbukti bersalah, agar dapat diberikan
tindakan dengn dikembalikan kepada orang tua, dengan pembimbingan diserahkan
kepada BAPAS kelas I anak, orang tua, kejaksaan, serta aparat setempat, mengacu
pada UU Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak'’. Akhirnya, JPU dari Kejaksaan
Negeri Stabat, Langkat, AP Frianto, melimpahkan berkas itu ke pengadilan. Raju
dijerat pasal 351 KUHP soal penganiayaan. Persidangan bagi anak dilakukan
secara tertutup dengan hakim tunggal Tiurmaida Pardede.
Kasus
yang seharusnya diselesaikan dalam keluarga dan sekolah diperpanjang hingga
pengadilan. Pengadilan pun tidak melihat kasus ini cacat hukum dengan
mesidangkan anak di bawah umur (bahkan sempat menahannya bersama dengan tahanan
orang dewasa). Lantas kemana nurani sehingga mengalahkan kepentingan prosedur
dan keadilan? Keadilan macam apa?
Analisis
Sidang Raju’ yang Cacat
Sistem
Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur
sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan
anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal
pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan
apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan
lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.Ketiga, Pengadilan Anak,
tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.
Yang terakhir, institusi penghukuman.
Ada
2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:
1. Status
Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos
sekolah atau kabur dari rumah;
2. Juvenile
Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Pelaksanaan
Sitem Peradilan Pidana Anak sebagaimana telah dipaparkan diatas
ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip
kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, Sitem Peradilan Pidana
Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak(protection
child and fullfilment child rights based approuch). Deklarasi
Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan
terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya
menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui
upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik,
mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan
kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat
dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General
Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19)
sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan
terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua.
Sehubungan
dengan hal ini, criminal justice system memiliki tujuan untuk :
(i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii)
pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat
dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih
ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga
(kesejahteraan sosial).
Kasus-kasus
kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan membawa fenomena
tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil dan emosional, maka
penanganan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak perlu mendapat perhatian
khusus, yang dimulai dati hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana khusus untuk anak
yang berkonflik dengan hukum, hak dan kewajiban yang diperoleh anak yang
berkonflik dengan hukum, dan bagaimana penanganan yang diberikan terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum, Undang-undang No.3 Tahun 1997 memberikan landasan
formil-juridis dalam pembentukan 1embaga Peradilan Anak sebagai lembaga
Peradilan Khusus yang berada dalam ruang lingkup Peradilan Umum.
Banyak
anak yang berkonflik dengan hukum ternyata mendapat perlakuan sewenang-wenang
dati aparat penegak hukum seperti yang terjadi pada Muhammad Azuar alias Raju,
yang didakwa atas perbuatan penganiayaan karena berkelahi dengan Armansyah
alias Eman yang dilakukan pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2005 bertempat di
Gang Antara Desa Paluh Mauis Kec. Gebang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Raju yang masih berusia 8 (de1apan) tahun terpaksa harus mendekam di Rutan
Pangkalan Brandan selama beberapa jam bersama tahanan dewasa dan mendapat
stigma dari Hakim tunggal yang memeriksa perkaranya sebagai anak nakal. Bahwa
dalam menyikapi permasalahan tersebut, perlu diambil langkah bijak yang
melibatkan peran pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil
dalam upaya perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum dengan menerapkan
ketentuan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan merevisi kembali
ketentuan-ketentuan dati undang-undang tersebut yang dirasa masih kurang sesuai
dalam upaya perlindungan terhadap anak yang berkunflik dengan hukum.
Tentang hakim yang menyidangkan perkara dan
ketiadaannya LAPAS anak
Disidangkan
dengan hakim tunggal, merujuk pada pasal 11 ayat (1) UU no3 tahun 1997. Yang
berbunyi “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama
sebagai hakim tunggal”. Walaupun dalam ayat selanjutnya bisa dikesampingkan
dengan adanaya menggunakan hakim majelis yaitu ayat (2) yang berbunyi “Dalam
hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan
pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis”.
Dalam
hal ini perkara raju bukan merupakan perkara yang mendapatkan penanganan serius
dari aparat penegak hukum. Bukan berarti kasus ini tidak penting atau tidak
perlu penanganan yang sangat intensif. Akan tetapi meurut penulis kasus rajau
ini hanya kasus umum yang biasa dilakukan oleh anak-anak bahkan orang dewasa
sekalipun. Sehingga hakaim sepatutnya bisa memutus dengan seadil-adilnya.
Tentang
ketiadaan LAPAS anak di daerah hukumnya sebenarnya tidak terlalu diributkan.
Sesungguhnya walaunpun ketiadaan LAPAS anak, akn tetapi bisa ditempatkan
bersama orang dewasa. Akan tetapi harus dipisahkan atau di “sekat” dari
narapidana orang dewasa, ini merujuk ketidakadaan LAPAS anak di daerah
hukumnya.
Putusan yang seharusnya
Raju
selayaknya mendapatkan putusan bebas (atau setidak-tidaknya dikembalikan kepada
orang tua untuk dibina kemabali bersama kelaurga dan masyarakat), merujuk pada
beberapa faktor seperti raju masih dibawah umur, penyidikan/ proses
penyelidikan dari awal sudah cacat hukum, tidak adanya LAPAS untuk anak
ditempat kasus itu disidangkan. Dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, ketentuan Kovenan sepanjang yang mengatur persoalan
pencabutan kebebasan seseorang secara umum mutatis
mutandis berlaku pada seorang anak yang melakukan tindak pidana. Namun,
apabila terdapat ketentuan yang ruang lingkup berlakunya secara khusus
ditujukan bagi anak-anak, maka ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum
yang berbeda. Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi anak yang
dicabut hak-haknya dengan menggunakan legal term”terdakwa/terpidana/orang
di bawah umur” (Pasal 10 ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)).
Artinya legal term ini harus dibaca dengan menginterpretasikan
dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan anak. Dengan kata lain,
anak-anak harus mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hak-haknya
sebagaimana semua proseder dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi
pelaku kriminal dewasa. Konsekuensi logis dan yuridisnya, negara dibebani
kewajiban untuk memberikan perlakuan yang berbeda antara orang dewasa dan
anak yang melakukan suatu tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)). Dalam
perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena kedua instrumen ini telah diratifikasi
dengan demikian menjadi hukum positif (Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia), maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar