Tugas
Kebijakan Publik
“KEBIJAKAN
MENGENAI KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA”
Disusun
oleh:
ERNI
KUSWULANDARI SUWARNO
12401241003
PKNH
“A”
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
negara pasti memiliki sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,
begitupun juga dengan Indonesia. Kebijakan merupakan cara bertindak yang
dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Anderson merumuskan kebijakan
sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang
dihadapi. Pemerintah sering kali mengeluarkan kebijakan yang bersifat untuk
kepentingan umum atau yang lebih sering dikenal dengan kebikakan publik.
Indonesia sendiri memiliki banyak kebijakan yang menyangkut kepentingan umum,
salah satunya yaitu kebikajan mengenai “keistimewaan daerah”. Selama ini kita
mengenal bahwa keistimewaan daerah yang ada di Indonesia berada di provinsi
Aceh dan provinsi Yogyakarta.
Suatu
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus benar-benar untuk kepentingan
masyarakat, seperti halnya kebikajan mengenai keistimewaan daerah. Suatu daerah
dijadikan istimewa juga memiliki tujuan yang baik untuk masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
itu kebijakan?
2. Bagaimana
kebijakan publik itu?
3. Bagaimana
kebijakan publik mengenai keistimewaan daerah dan kaitannya dengan otonomi
daerah?
4. Bagaimana
keistimewaan daerah yang ada di provinsi Yogyakarta?
5. Bagaimana
perbedaan keistimewaan daerah yang ada di Aceh dan Yogyakarta?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
apa itu kebijakan.
2. Mengetahui
apa itu kebijakan publik.
3. Memahami
bagaimana kebijakan publik yang berkaitan dengan keistimewaan daerah dan
kaitannya dengan otonomi daerah.
4. Memahami
keistimewaan daerah yang ada di Yogyakarta.
5. Memahami
perbedaan keistimewaan daerah yang ada di Aceh dan Yogyakarta.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Kebijakan
Budi
Winarno dan Sholichin Wahab sepakat bahwa istilah kebijakan penggunaanya sering
dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan program, keputusan,
undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal, dan grand design.
Kebijakan
merupakan cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.
Richard Rose menyarankan kebijakan hendaknya sebagai serangkaian kegiatan yang
sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang
bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan sendiri.
Menurut
Carl friedrich, kebijakan dipandang sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
yang memberikan pelbagai hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan yang
diusulkan, lntas menggunakan kebijakan tersebut untuk mengatasi segala bentuk
persoalan demi mencapai tujuan yang dimaksud. Budi Winarno mengingatkan bahwa
dalam mendefinisikan kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa
yang sebenarnya dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup
pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang hanya
menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.
Anderson
merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan
oleh seorang actor atau sejumlah actor berkenaan dengan adanya masalah atau
persoalan tertentu yang dihadapi. Konsep kebijakan ini memusatkan perhatian
pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulakan atau
dimaksudkan. Konsep ini juga secara tegas membedakan antara kebijakan (policy) dan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan
di antara berbagai alternative yang ada.
B.
Kebijakan Publik
Studi
kebijakan publik merupakan suatu studi yang bermaksud untuk menggambarkan,
menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari
tindakan-tindakan pemerintah.
Dalam
literatur ilmu politik terdapat banyak batasan atau definisi mengenai kebijakan
publik yang masing-masing berbeda. Faktor lain yang menyebabkan para ahli
berbeda dalam memberikan definisi kebijakan publik menurut Budi Winarno karena
perbedaan pendekatan dan model apakah kebijakan publik dilihat sebagai
rangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan
yang dampaknya dapat diramalkan.
Robert
Eyeston mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Thomas R. Dye
menyatakan kebijakan public adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan. W.I Jenkis merumuskan kebijakan publik sebagai
serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor
politik atau sekelompok aktor politik berkenaan tujuan yang dipilih, beserta
cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan-keputusan itu
pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para
aktor tersebut.
Amir
Santosa mengomparasikan berbagai definisi yang dikemukakan para ahli bahwa pada
dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah
kategori.
Pertama,
pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan
pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap semua tindakan
pemerintah sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua berangkat dari para ahli
yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang
masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang
kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan
dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki
akibat-akibat yang dapat diramalkan.
David
Easton menyebut ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber
pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan, orang-orang yang memiliki
wewenang dalam sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para
eksekutif, para legislator, para hakim, para administrator, para monarki, dan
lain sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton merupakan orang-orang dalam
kesehariannya terlibat dalam urusan politik dari sistem politik itu sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas urusan-urusan politik tadi. Mereka berhak
untu mengambil tindakan-tindakan tertentu sepanjang tindakan-tindakan tersebut
masih berada dalam batas-batas peran dan kewenangannya.
Penjelasan
di atas membawa implikasi terhadap konsep kebijakan publik yang sekaligus
merupakan ciri-ciri dari kebijakan publik.
Pertama,
kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada
sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kedua, kebijakan
pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang
berdiri sendiri. Ketiga, kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya
dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan publik
mungkin berbentuk positif, mungkin bernentuk negatif.
Kemudian
James Anderson menyampaikan kategori tentang kebijakan public sebagai berikut:
a. Kebijakan
substantif versus kebijakan prosedural
b. Kebijakan
distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif
c. Kebijakan
materal versus kebijakan simbolis
d. Kebijakan
yang berhubungan dengan barang umum dan barang privat
Kerangka
kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh seberapa variabel sebagai berikut:
1. Tujuan
yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai.
2. Prefensi
nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.
3. Sumber
daya yang mendukung kebijakan.
4. Kemapuan
aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.
5. Lingkungan
yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
6. Strategi
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
Proses
kebijakan publik yang dikemukakan William N. Dunn:
Fase
|
Karakteristik
|
Ilustrasi
|
Penyusunan
agenda
|
Para
pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda pubik.
Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk
waktu lama.
|
Legislator
negara dan co-sponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke
Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujuai atau
rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
|
Formulasi
kebijakan
|
Para
pemerintah merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.
Alternative kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan
peradilan, dan tindakan legislatif.
|
Pengadilan
Negara Bagian mempertimbangkan pelarangan penggunaan tes kemampuan standar
seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bisa terhadap
perempuan dan minoritas.
|
Adopsi
kebijakan
|
Alternatif
kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus
di antara direktur lembaga aau keputusan peradilan.
|
Dalam
keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe. V. Wade tercapai keputusan mayoritas
bahwa wanita mempunyai hak mengakhiri kehamilan melalui aborsi
|
Implementasi
Kebijakan
|
Kebijakan
yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
|
Bagian
Keuangan Kota mengangkat pegawai untuk mendukung peraturan baru tentang
penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak lagi memiliki status pengecualian
pajak.
|
Penilaian
Kebijakan
|
Unit-unit
pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan
eksekutif, legislatif dan peradilan undang-undang dalam pembuatan kebijakan
dan pencapaian tujuan.
|
Kantor
akuntansi publik memantau program-program kesejahteraan sosial seperti
bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya
penyimpangan/korupsi.
|
C.
Kebijakan Publik Mengenai Keistimewaan Daerah
dan Kaitannya dengan Otonomi Daerah
Menurut
UUD 1945 sebelum sekarang diamandemen, sebuah daerah dinyatakan sebagai
istimewa jika daerah itu memiliki apa yang disebut sebagai “susunan asli”. Pada
bagian penjelasan dari pasal 18 ditulis demikian: “Dalam teritoir Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu memiliki susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.
Antara
Keistimewaan Daerah dan Otonomi Daerah memiliki kesamaan, yakni pemerintah
daerah berhak mengatur wilayahnya. Selama Indonesia merdeka, kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan
yang sangat dinamis. Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsepsi tersebut di
satu sisi mengukuhkan keberadaan daerah sebagai bagian nasional, tetapi di sisi
lain memberikan stimulan bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan
kepentingannya, termasuk maslah otonomi daerah dalam sistem hukum dan kebijakan
nasional. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi.
Pelaksanaan desentralisasi yang menghasilkan otonomi tersebut dijalankan dan
dikembangkan dalam dua nilai dasar, yaitu nilai unitaris dan nilai
desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah
lain di dalamnya yang bersifat negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada
rakyat, bangsa, dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan pemerintahan. Sementara itu nilai desentralisasi teritorial diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi.
Menguatnya
usul penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur Yogyakarta membawa babak baru wajah
penyelenggaraan desentraisasi di Indonesia. Wajah penyelenggaraan
desentralisasi yang khas di Indonesia yang merupakan modifikasi teoritis
melalui proses panjang deduksi otonomi. Desentralisasi dan otonomi adalah alat
yang acap kali digunakan oleh bangsa-bangsa dengan karakter geografi dan
demografi yang besar dan heterogen dalam rangka meraih kemajuan, kesejahteraan,
dan pembangunan bangsa-bangsa tersebut. Dengan demikian, alat tersebut haruslah
mengikuti kehendak bangsa yang dimaksud. Jika tidak efektif, perlu disesuaikan
dan dimodifikasi; jika efektif, tentu perlu dimonitor terus-menerus mengikuti
perkembangan social-ekonomi-politik dan budaya dari masyarakat tersebut.
Persoalannya adalah perbaikan dan penyesuaian menjadi terkendala manakala
terjadi paradoks penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi ini seperti sedang
kita saksikan dan dapat diperkirakan makain tersa pada 2011.
Paradoks
yang mengganggu pertama adalah antara keinginan mempertahankan bentuk negara
kesatuan sebagai arus atas dan keinginan untuk menampung kekhasan-kekhasan yang
mengarah ke federalistik sebagai arus bawah. Paradoks ini paling berat yang
harus dihadapi bansa Indonesia karena rasionalitas bangsa, yakni rasionalitas
mengenai makna otonomi. Otonomi menurut sebagian kalangan dipahami sebagai
kedaulaan sementara sebagian menganggap dikendalikan oleh kedaulatan.
Paradoks
kedua adalah pembenturan antara dimensi strategis dan dimensi teknis. Dalam hal
visi strategis tengah bercampur-baur antar nilai-nilai yang diinginkan dalam
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi di Indonesia. Berbagai pihak
menginginkan efisiensi dan efektivitas lebih besar, sedangkan pihak-pihak lain
yang tidak boleh dianggap sepele menginginkan demokratisasi dan partisipasi
lebih besar. Dalam praktik kedua-duanya ditampung sedeikian rupa sehingga
menjadi pembenturan
Paradoks
ketiga adalah pembenturan antara keinginan menatap masa depan dan baying-bayang
sejarah. Sejarah otonomi daerah Indonesia bayak dipengaruhi oleh polesan
Hindia-Belanda terhadap daerah-daerah yang dikuasai para raja di Tanah Air
masih terngiang-ngiang di sejumlah pihak sehingga kemudian bisa disaksikan
keinginan Kasultanan Surakarta untuk mengikuti jejak Yogyakarta.
Keinginan
menatap masa depan dalam desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
tercermin dalam modernisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Buah
modernisasi membawa otonomi daerah berpola positivistic dan pasca-positivistik.
Bentuk-bentuk negara antara kesatuan dan federal adalh pilihan pertama yang
harus diperhatikan.
Pasca-positivistik
bukan menjungkirbalikkan positivistic yang sudah berjalan, melainkan hanya pada
persoalan akomodasi aspirasi nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pengambilan
keputusan organisasi. Pasca-positivistik tidak akan mengakui campuran yang
tidak jelas juntrungannya. Muaranya adalah gerak organisasi formalnya tetap
teratur, terstandar, dan terukur.
Paradoks
kelima adalah paradoks sentrifugal dan sentripetal. Fragmentasi kelembagaan di
tingkat nasional memudahkan sentrifugal terdrong cepat, tetapi pada saat
bersamaan elite nasional menginginkan setripetalisme dijaga.
D.
Keistimeaan yang Ada di Yogyakarta
Berdasarkan
pasal 18 UUD 1945, Yogyakarta memiliki apa yang disebut susunan asli atau “asal
usul” tersendiri. Pemerintahan yang ada di Yogya tidak tumbuh setelah RI
merdeka, tetapi memiliki asal usul tersendiri. Yogya dinyatakan istimewa karena
UUD 1945 itu “menghormati dan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Sebagai
sebuah kerajaan, Kasultanan Yogya mempunyai sistem pemerintahan tersendiri
(“susunan asli”). Sebelum diadakan reorganisasi sistem pemerintahan pada 1926,
susuan asli pemerintahan Kasultanan di Yogya adalah sebagai berikut. Kasultanan
Yogya dibagi menjadi 5 Kabupaten dan 1 Kabupaten kota. Setiap kabupaten dibagi
menjadi beberapa kepanjen (distrik) yang masing-masing dikepalai oleh seorang
panji distrik. Setiap kepanjen terdiri dari beberapa daerah asistenan
(onderdistrik) yang masing-masing dikepalai oleh seorang asisten panji. Setiap
asistenan terdiri dari beberapa desa. Adapun kabupaten kota dibagi menjadi
beberapa daerah asistenan yang selanjutnya terbagi-bagi lagi dalam beberapa
kampung.
Pada
1926 diadakan reorganisasi sistem pemerintahan. Kasultan dibagi menjadi empat
kabupaten (Yogyakarta, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo). Kabupaten
Yogyakarta mencakup Kawedanan Kota Yogyakarta, Kawedanan Kalasan, dan Kawedanan
Sleman. Setiap Kawedanan itu dibagi-bagi menjadi beberapa asistenan. Dalam
Asistenan Yogyakarta terdapat beberapa asistenan kemantren. Sedangkan asisten
di Kalasan dan Sleman membawahi beberapa daerah yang lebih kecil disebut desa.
Kabupaten
Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo juga membawahi daerah-daerah
kawedanan-kawedanan. Di bawah setiap kawedanan itu terdapat asistenan-asistenan
dan desa-desa. Setiap kawedanan dipimpin oleh seorang wedana pangreh praja.
Menurut Selo Soemardjan, penggantian istilah dari kepanjen menjadi kawedanan
itu dimaksudkan sebagai penyesuaian dengan daerah-daerah lain di luar
Kasultanan Yogya. Itulah sistem pemerintahan Yogya yang merupakan sebuah
“susunan asli” yang eksis sejak jaman dulu.
Ketika
para penjajah meninggalkan bumi pertiwi, Yogya yang telah memiliki pemerintahan
sendiri sebenarnya sudah siap untuk menjadi sebuah negara sendiri. Syarat
sebuah negara adalah memiliki wilayah, rakyat, dan sistem pemerintahan. Ketiga
syarat dasar itu telah dimiliki oleh Yogya. Seandainya dulu Yogya tidak mau
bergabung dengan RI namun berdiri sebagai negara sendiri maka sejarah Indonesia
akan berbeda.
Itulah
sebabnya, setelah RI memproklamirkan kemerdekaannya, Penjajah Belanda sempat
memberikan tawaran kepada Sri Sultan HB IX untuk menjadi “Super Wali Nagari”
atas wilayah Jawa dan Madura dalam rangka negara federal yang akan dibuat
Belanda. Namun, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII sudah bertekat bulat
untuk memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Bahkan, Yogya
dipersembahkannya sebagai pilar penyangga bagi berdirinya Republik ini.
Status
keistimewaan Yogykarta tidak bisa dilepaskan dari keputusan “nagari”
Ngayogyokarto untuk bergabung dengan RI. Namun, sebelum proses bergabung itu,
terlebih dahulu terjadi proses reunifikasi antara Kasultanan dan Pakualaman.
Reunifikasi ini menjadikan Yogya sebagai satu (sebuah) kerajaan dengan Sri
Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai dwitunggal pemimpinnya.
Setelah
RI memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan
Sri PA VIII memutuskan untuk bergabung dengan RI. Dalam sebuah diskusi pribadi
saat mempertimbangkan keputusan itu, Sri PA VIII berkata kepada Sri Sultan HB
IX: “Saenipun kito bergabung mawon
kaliyan Republik” (Sebaiknya kita bergabung saja dengan Republik). Spontan,
Sri Sultan HB IX menanggapi: “Yes, aku
setuju!”. Segera setelah itu, Sri Sultan HB IX memanggil sekretarisnya (Kanjeng
Raden Tumenggung Hanggawangsa) untuk mengirim telegram kepada Bung Karno yang
berisi ucapan selamat dan pernyataan bahwa Kasultanan dan Pakualaman Yogya
mendukung dan bergabung dengan RI.
Keputusan
untuk bergabung dengan RI merupakan kebesaran hati Sri Sultan HB IX dan Sri PA
VIII. Mereka berdua tidak mementingkan diri mereka sendiri. Mereka
mempersembahkan kerajaan yang telah berdiri sejak ratusan silam untuk mendukung
penuh “jabang bayi RI” yang baru saja
lahir.
Presiden
Soekarno sangat menghargai dan sangat menghormati keputusan politis Sri Sultan
HB IX dan Sri PA VIII tersebut. Dalam waktu yang sangat cepat, Presiden
Soekarno memberikan apa yang dinyatakan sebagai “Piagam Kedudukan”, baik kepada
Sri Sultan HB IX maupun kepada Sri PA VIII. Piagam itu yang ditandatangani oleh
Presiden Soekarno itu ditulis di Jakarta pada 19 September 1945. Hanya karena
situasi dan kondisi yang sulit, Piagam itu baru sampai Yogya beberapa waktu
kemudian.
Piagam
Kedudukan yang diberikan Prsiden Soekarno untuk Sri Sultan HB IX berbunyi
demikian: “Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan Ingkang Sinuwun Kanjeng
Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrachman Sayidin Ponotogomo,
Kalifatullah Ingkang Kaping IX ing Ngayogyokarto Hadiningrat, pada
kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan
mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah
Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia”.
Sedangkan
Piagam Kedudukan yang diberikan Presiden Soekarno untuk Sri Paku Alam VIII
berbunyi demikian: “Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Ario Paku Alam Ingkang Kaping VIII pada kedudukannya, dengan
kepercayaan, bahwa Sri Paduka Kanjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran,
tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Pakualaman sebagai bahan
daripada Republik Indonesia”.
Piagam
Kedudukan tersebut menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, hubungan Yogya dan Pemerintah Pusat (Presiden RI) adalah
hubungan langsung. Piagam itu diberikan langsung oleh Presiden RI kepada raja
di Yogya. Itulah sebabnya Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII kemudian membuat
Amanat (5 September 1945) yang menyatakan bahwa dalam menjalankan pemerintahan
daerah mereka berdua bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Kedua,
Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Kasultanan
Yogya yang daerah kekuasaannya meliputi Kasultanan Yogya. Wilayah itu merupakan
bagian dari Republik Indonesia.
Ketiga, Pemerintah
Pusat (Pesiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Sri Sultan HB IX sebagai
raja Yogya. Penyebutan gelar lengkap dari Sri Sultan dalam Piagam itu
menunjikkan bahwa kekuasaan Sri Sultan diakui secara penuh. Gelar itu
menunjukkan secara eksplisit bahwa Sri Sultan adalah raja atau pemimpin yang
berkuasa secara politis, militer, sosial-budaya, dan keagamaan.
Keempat,
Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Kadipaten
Pakualaman sebagai sebuah kerajaan merdeka yang merupakan wilayah Republik
Indonesia. Pengakuan akan kadipaten itu penting sebab wilayah Pakualaman itu
berbeda dengan wilayah kekuasaan Kasultanan.
Kelima,
Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan kedaulatan Sri Paku Alam
VIII sebagai raja atas kadipaten Pakualaman. Sama seperti pada penyebutan gelar
Sri Sultan, penyebutan gelar Paku Alam juga dituliskan secara lengkap. Hal itu
menunjukkan bahwa kekuasaan dan wewenang Paku Alam diakui secara penuh.
Piagam
Kedudukan itu mempunyai nilai sangat penting sebab merupakan catatan sejarah
tentang deal yang terjadi antara
Pemerintah RI dengan Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat (Kasultanan dan
Pakualaman). Karena Piagam Kedudukan itu sangat penting, Presiden Soekarno
mengirim utusan khusus untuk menyampaikan Piagam itu langsung kepada Sri Sultan
HB IX. Karena situasi yang serba sulit, utusan yang terdiri dari Menteri Mr.
Sartono dan Menteri Mr. Maramis baru tiba di Yogya pada 6 September 1945.
Adapun Piagam Kedudukan itu sudah dibuat dan ditandatangani oleh Presiden
Soekarno pada 19 Agustus 1945.
Piagam
itu dibuat pada 19 Agustus 1945, sedangkan UUD 1945 ditetapkan mulai berlaku
sejak tanggal 18 Agustus 1945. Piagam Kedudukan tersebut, yang merupakan
penghargaan istimewa terhadap daerah Yogyakarta, tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Pasal
18 UUD 1945 dan penjelasannya seperti yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945
memberikan konsep yang jelas mengenai daerah-daerah istimewa di Indonesia.
Pasal itu berbunyi demikian: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan
Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Pada
bagian penjelasan dinyatakan demikian: “Dalam teritoir Negara Indonesia
terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
negara mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Dengan
demikian, pemberian Piagam Kedudukan pleh Presiden RI kepada Sri Sultan HB IX
dan Sri PA VIII merupakan wujud pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Pada awal kemerdekaan RI, Pemerintah Pusat sangat mengingat dan
menghormati kedudukan daerah istimewa Yogyakarta.
DIY
terlahir dari sebuah suasana kebatinan bangsa Indonesia yang bukan hanya
diliputi semangat persatuan bangsa, tetapi juga penghargaan tinggi terhadap
sejarah pasal 18 UUD 1945 menegaskan pentingnya NKRI, tidak boleh ada negara di
dalam negara. Namun, pasal itu juga mengakui dan menghormati kenyataan historis
dari setiap daerah yang bersifat istimewa karena memiliki “susunan asli” sejak
sebelum RI merdeka.
Pasal
18 UUD 1945 menekankan prinsip “memandang” dan “mengingat” hak asal usul
susunan asli suatu daerah. Menurut Sujamto hal itu berarti bahwa setiap
undang-undang yang diterbitkan tidak boleh mengabaikan hak-hak asal usul
daerah-daerah istimewa tersebut. Adapun hak asal usul itu mencakup, pertama, asal usul struktur kelembagaan
pemerintahan (“susunan asli”). Kedua,
asal usul ketentuan dan prosedur pengangkatan dan pemberhentian pimpinan
daerah. Misalnya, dalam konteks DIY Sri Sultan dan Paku Alam secara otomatis
menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketiga, asal usul penyelenggaraan urusan pemerintahan, terutama
yang berkaitan dengan masalah pelayanan publik dan pajak.
Kelahiran
DIY ini menunjukkan bahwa ketika sejarah diapresiasi maka keberadaan
daerah-daerah istimewa di negeri ini juga diakui. Sejarah tidak berbicara
tentang sesuatu yang kuno di masa silam, namun berbicara tentang proses atau
kronologi. Para founding fathers
benar-benar memahami bagaimana proses berdirinya Kasultanan dan Pakualaman.
Mereka tidak melupakan proses bagaimana kedua kerajaan itu memilih bergabung
dengan RI dan berkomitmen kepada RI.
Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik
Indonesia, menimbang: a. bahwa negara mengakui dan menghormati satu-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.
b.
bahwa Kasultanan Ngayogyokarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang talah
mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan
sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga Keutuhan
Negara Republik Indonesia;
c.
bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa
Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor
19 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
E.
Perbedaan Keistimewaan daerah yang
dimiliki Aceh dan Yogyakarta
Untuk
memahami kelahiran DIY, kiranya perlu diperhatikan bagaimana perbedaan
kelahirannya dengan kelahiran Daerah Istimewa Aceh. Yogya disebut istimewa
karena sebelum bergabung dengan RI sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri
atau apa yang disebut dalam pasal 18 UUD 1945 sebagai “susunan asli”. Hal itu
jelas karena Yogya merupakan sebuah kerajaan atau “nagari” tersendiri. Adapun
Aceh, pada waktu bergabung dengan RI, bukan merupakan penerus langsung dari
kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah itu.
Pada
jaman Hindia Belanda, Aceh merupakan sebuah karesidenan. Pada masa itu,
Karesidenan Aceh terdiri dari beberapa kabupaten (afdeling). Di kawasan Aceh tersebut ada beberapa daerah yang
berpemerintahan sendiri atau otonom, disebut sebagai daerah zelfbestuurd gebied. Ada pula beberapa
daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda., disebut
sebagai daerah rechstreeks bestuurd
gebied.
Proses
sampai akhirnya menjadi Daerah Istimewa Aceh merupakan proses panjang dan
melelahkan melewati tahapan-tahapan sebagai berikut. Pertama, pada saat RI merdeka, Aceh mendapatkan status baru sebagai
sebuah karesidenan di dalam provinsi Sumatra.
Kedua,
pada masa revolusi kemerdekaan, Aceh menjadi sebuah Daerah militer. Aceh
bersama dengan Langkat dan Tanah Karo merupakan Daerah Militer di dalam
Provinsi Sumatra.
Ketiga,
daerah Aceh disebut Presiden Soekarno sebagai “daerah modal” bagi Republik.
Kemudian, dibentuklah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.
Keempat,
Banda Aceh (Kutaraja) menjadi tempat kedudukan (kantor) Waki Perdana Menteri
RI. Pada waktu itu rakyat Aceh menyatakan aspirasi untuk menjadikan Aceh
sebagai Provinsi Otonom.
Kelima,
Wakil Perdana Menteri menetapkan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan
Pemerintah No. 8/Des/WKPM/1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh. Wilayahnya
agak lebih luas dari wilayah Provinsi DI Aceh yang sekarang ini.
Keenam,
karena rakyat terus-menerus bergejolak dan menuntut supaya Aceh diberi otonomi
secara khusus, akhirnya diputuskan bahwa Aceh merupakan sebuah Daerah Istimewa.
Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959 No.
1/Misi/1959 menyatakan bahwa Daerah Swatantra Tingkat I Aceh dapat disebut
sebagi Daerah Istimewa Aceh.
Proses
itu berbeda dengan Yogya. Ketika RI merdeka, Yogya merupakan sebuah kerajaan
(Kasultanan dan Pakualaman) yang berdaulat penuh. Yogya memiliki sistem
pemerintahan tersendiri. Namun, pemimpin pemerintahan (raja) di Yogya
memutuskan untuk bergabung dengan RI.
Status
keistimewaan Yogya tidak bisa dilepaskan dari keputusan “Nagari” Ngayogyokarto
untuk bergabung dengan RI. Namun, sebelum proses bergabung itu, terlebih dahulu
terjadi proses reunifikasi antara Kasultanan dan Pakualaman. Reunifikasi ini
menjadikan Yogya sebagai satu (sebuah) kerajaan dengan Sri Sultan HB IX dan Sri
Paku Alam VIII sebagai dwitunggal pemimpinnya.
Reunifikasi
itu terjadi pada jaman pendudukan Jepang. Waktu itu, Jepang ingin mengadu domba
Kasultanan dengan Pakualaman. Penjajah yang mengaku sebagai “saudara tua” itu
memancing persaingan di antara kedua projo
kejawen tersebut. Bibit perselisihan sengaja ditebar supaya pihak Kadipaten
Pakualaman merasa iri dengan pihak Kasultanan yang pada waktu itu memiliki Schakle School dan beberapa asset lain
yang lebih besar.
Baik
Sri Sultan HB IX maupun Sri Paku Alam VIII sama sekali tidak terpancing dengan
taktik devide et impera tersebut. Sri
Paku Alam VIII mengontak Sri Sultan HB IX dan menyatakan keinginannya untuk
menggabungkan kembali Kadipaten Pakualaman dengan Kasultanan Yogya. Sri Sultan
HB IX pun menanggapi dengan senang hati. Mulai saat itu, kedua pemimpin ini
berkantor bersama di Kepatihan, Yogya. Mereka berdua bangkit menjadi dwitunggal
pemimpin Yogya yang gerak dan kepemimpinannya berdampak nasional.Setelah RI
memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan Sri
PA VIII memutuskan untuk bergabung dengan RI.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
UUD 1945 sebelum sekarang diamandemen, sebuah daerah dinyatakan sebagai
istimewa jika daerah itu memiliki apa yang disebut sebagai “susunan asli”. Pada
bagian penjelasan dari pasal 18 ditulis demikian: “Dalam teritoir Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu memiliki susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.
Berdasarkan
pasal 18 UUD 1945, Yogyakarta memiliki apa yang disebut susunan asli atau “asal
usul” tersendiri. Pemerintahan yang ada di Yogya tidak tumbuh setelah RI
merdeka, tetapi memiliki asal usul tersendiri. Yogya dinyatakan istimewa karena
UUD 1945 itu “menghormati dan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Setelah
RI memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan
Sri PA VIII memutuskan untuk bergabung dengan RI.
Yogya
disebut istimewa karena sebelum bergabung dengan RI sudah memiliki sistem
pemerintahan sendiri atau apa yang disebut dalam pasal 18 UUD 1945 sebagai
“susunan asli”. Hal itu jelas karena Yogya merupakan sebuah kerajaan atau
“nagari” tersendiri. Adapun Aceh, pada waktu bergabung dengan RI, bukan
merupakan penerus langsung dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah
itu.
B. Kritik
dan saran
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Suharno. 2010. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta: UNY Pers. Cetakan II.
Hari Sabarno. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan
Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika.
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo.
2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan.
Yogya: Pustaka Pelajar.
Haradi SN dkk. 2011. Monarki Yogya Inkonstitusional?.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Tim New Merah Putih (Penyusun).
2012. Undang-Undang Keistimewaan Nomor 13
Tahun 2012 Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: New Merah Putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar