MAKALAH KELOMPOK
TEORI-TEORI POLITIK
RELASI ANTARA STATE (NEGARA) AND CIVIL
SOCIETY (MASYARAKAT MADANI)
Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah teori-teori politik
Dosen pembimbing: Nasiwan, M. Si.
Disusun
oleh:
solihat (12401241001)
Erni
Kuswulandari S. (12401241003 )
Nandya
Nandiroh (12401241005)
Siti
Lestari (12401241008)
Deka
Lestari (12401241015
Imam
Naufi A. (12401241024)
PKnH
“A” 2012
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan rezeki-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Teori-Teori Politik. Tak lupa
sholawat serta salam penulis panjatkan kepada nabi Muhammad SAW yang sudah
menjadi inspirasi dan pedoman.
Makalah ini
penulis buat terkait tugas mata kuliah
Teori-Teori Politik yang diampu oleh, bapak Nasiwan untuk memahami hubungan
antara negara dengan mayarakat madani. Makalah ini berisi tentang hal-hal yang
terkait negara, masyarakat madani dan hubunga antara keduanya.
Ibarat tak ada gading yang tak retak, seperti itulah
makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan, kesalahan dan kecacatan sehingga makalah ini terlampau jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Sekian dan terima kasih.
Yogyakarta, Oktober 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Civil society
(masyarakat sipil) merupakan arena berbagai gerakan sosial (seperti rukun
tangga, kelompok perempuan, kelompok agama,kelompok intelektual) serta
organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh
dan pengusaha) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan sehingga
mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan berbagai
kepentingan mereka. Masyarakat sipil pada dasarnya dapat meruntuhkan sistem
otoritarianisme (Nasiwan dan Cholisin, 2012). Mengenai masyarakat sipil dalam
disiplin ilmu sosial diartikan sebagai elemen penting dalam sebuah negara dan
konsep yang berlawanan dengan masyarakat politis, masyarakat militer sebagai
suatu wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan,
kemandirian tinggi dari kendali dan campur tangan negara, keterikatan, dengan
norma serta nilai-nilai hukum yang dipatuhi oleh warganya (Nasiwan, 2012: 156)
kemudian perhatian pada masalah politik di Indonesia telah menjangkau
masyarakat yang sangat luas. Tidak hanya itu, perhatian terhadap bentuk pemahaman
yang dapat dikatakan baru dalam ilmu politik, juga melewati batas keilmuan itu
sendiri. Hal ini, barangkali, merupakan catatan tersendiri untuk kondisi
masyarakat Indonesia, karena sangat jarang ditemui di dalam masyarakat lain
(Afan Gaffar, 2006:175).
Semua orang memiliki peluang untuk menjadi pakar
politik sekalipun tidak memiliki latar belakang yang cukup, sepanjang ia
menulis dan berbicara di seminar dan kemudian media mengeksposnya maka jadilah
ia pakar politik. Dekade 1990-an, orang banyak berbicara tentang civil society yang oleh kalangan Islam
disebut sebagai masyarakat madani. Semua orang, baik ilmuwan politik maupun
yang bukan, politisi dan aktifis, kalangan sipil dan militer, lantas berbicara
tentang itu. Sekalipun banyak di antara mereka yang hanya memahami lewat Koran
atau melalui diskusi atau seminar. Akibatnya, tidak jarang terjadi salah kaprah
dalam memberikan interpretasi tentang konsep dasar apa yang disebut sebagai civil society. Dan tidak jarang pula ada
yang memahami dengan melihat civil
society sebagai masyarakat sipil vis
a vis militer dalam kehidupan politik di Indonesia. Tampaknya, perhatian
kita saat ini semuanya terarah kepada civil
society (Afan Gaffar, 2006:176).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa itu negara (State)?
2.
Apa itu Civil
Society (masyarakat madani)?
3.
Bagaimana hubungan antara state (negara) dengan civil
society (masyarakat madani)?
C. Tujuan
1.
Mengetahui apa itu state
negara.
2.
Mengetahui apa itu civil
society (masyarakat madani).
3.
Mengetahui dan memahami relasi antara state dengan civil society.
BAB II
PEMBAHASAN
A. State (Negara)
Konvensi Montevideo 1933 tentang hak-hak dan kewajiban negara dalam pasal 1
tidak merumuskan pengertian negara, tetapi hanya menyebutkan unsure-unsur apa
saja yang harus ada pada sesuatu yang dapat disebut sebagai negara antara lain,
penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah dan kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan negara-negara lain (Ekram Pawiroputro, 2007: 24).
Logemann (Sugeng Istanto, 2014: 31)
mengutarakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan. Organisasi
diartikan sekulumpulan orang yang, dalam mencapai tujuan bersama mereka,
mengadakan kerja sama dan pembagian kerja di bawah satu pimpinan. Menurut Leon
Duguit negara adalah kekuasaan orang-orang kuat memerintah orang lemah. Bahkan
dalam negara modern kekuasaan orang-orang yang kuat diperoleh dari
faktor-faktor politik (Abu Daud Busroh, 2009: 22).
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi
pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama sekaligus
suasana antagonis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah
terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan
batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama,
baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan
demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial
dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa
negara mempunyai dua tugas:
1.
Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan
yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi
antagonis yang membahayakan.
2.
Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia
dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan Nasional
(Miriam Budiardjo, 2010: 47-48)
Miriam Budiardjo menyebutkan bahwa negara ialah suatu daerah teritorial
yang rakyatnya diperintah (governed)
oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan
pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis
terhadap kekuasaan yang sah (Miriam Budiardjo, 2010: 49).
Dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok
atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah
tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib
dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Negara adalah organisasi yang memiliki
wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat serta mempunyai hak istimewa,
seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencakup semua, yang bertujuan untuk
menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta tercapainya tujuan bersama
(Sunarso dkk, 2008: 18).
B. Civil Society (Masyarakat Madani)
Diskusi-diskusi mutakhir tentang civil
society pada umumnya berporos pada pemahaman de Tocqueville. Civil Society dapat didefinisikan sebagai
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan di antaranya bercirikan
kesukarelaan (voluntary), kswasembadaan
(self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi
berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai
hukum yang diikuti warganya. Dari pengertian tersebut civil society berwujud dlam berbagai organisasi yang dibuat oleh
masyarakat di luar pengaruh negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi
sosial keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok-kelompok kepentingan merupakan
wujud dari kelembagaan civil society
(Sunarso dkk, 2008: 82).
Masyarakat
sipil (civil society) merupakan arena
berbagai gerakan sosial (seperti rumah tangga, kelompok perempuan, kelompok
agama, kelompok intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti
ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan pengusaha) berusaha menyatakan diri
mereka dalam suatu himpunan sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka
sendiri dan memajukan berbagai kepentingan mereka. Masyarakat sipil pada
dasarnya dapat meruntuhkan sistem otoriterisme (Cholisin, 2013: 35).
Civil society secara
terminologis dapat diartikan masyarakat sipil, masyarakat kewarganegaraan,
masyarakat beradab, atau masyarakat berbudaya. Jadi civil society dapat dipahami sebagai sebuah ruang (space) sebuah Negara, di mana di
dalamnya hidup sekelompok individu dengan semangat toleransi yang tinggi dalam
jalinan komunikasi dan interaksi yang sehat, serta terwujudnya partisipasi
aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Ada juga yang memahami civil society sebagai asosiasi
masyarakat yang beradab sukarela hidup dalam suatu tatanan sosial yang
membedakan dengan jelas di mana letak urusan individu dengan urusan kolektif,
dan terjadi mobilitas yang tinggi dalam masyarakat, dan terbangun atas dasar
jiwa sukarela jaringan kerjasama antar seluruh elemen masyarakat (Nasiwan,
2012: 157).
Sementara itu, Victor Perez-Diaz lebih menekankan pada suatu proses sejarah
yang tak terputuskan, terutama di negara-negara sekitar Atlantik Utara, yang
telah menciptakan sebuah sistem ekonomi dan politik yang memiliki karakter
tertentu yang telah melembaga. Perez-diaz di sini menekankan makna civil society pada keadaan masyarakat
yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas, kebebasan, ekonomi pasar, dan
timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat yang mandiri, di mana satu sama lainnya
saling menopang (Afan Gaffar, 2006: 177-178).
Secara subtantif konsep civil society
dijabarkan kedalam pengertian menurut beberapa pakar politik, antara lain
(Nasiwan, 2012:158)
1.
Menurut Dawam Raharjo, civil society merupakan suatu ruang partisipasi masyarakat, dalam
perkumpulan-perkumpulan sukarela, seperti golongan berdasar profesi, kaum buruh
dalam serikat buruh, tani gereja atau perkumpulan atas dasar keagamaan sehingga
terbentuk masyarakat etnis , progresif untuk membangun peradaban yang unggul.
Beberapa capaian yang menjadi indikator terbentuknya masyarakat madani antara
lain bila rakyat memiliki kekuasaan secara kharismatik berupa ketajaman rasio
yang nantinya mendorong mereka menuju keadaan yang lebih baik secara umum,
berpotensi memanajemen diri sendiri dengan logis dan merdeka, terdapat
organisasi yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik, dan
berkekuatan dalam 3 aspek inti yaitu agama, peradaban dan perkotaan.
2.
Menurut Franz Magnis Suseno, Indikator masyarakat
madani atau civil society adalah
pendekatan terhadap rakyat yang diberlakukan adalah pendekatan faktual bukan
pendekatan normatif, terorganisir dengan rapi, sukarela, swasembada, swadaya,
mandiri, terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang dipatuhi
rakyat, di mana mereka dibebaskan secara internal, diatur oleh pihak yang dapat
menjamin kebebasan segenap warga masyarakat, individu, dan kolektif untuk
mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri dalam kehidupan bersama
yang didukung konsensus dasar. wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisir yang didasari jiwa sukarela, swasembada, swadaya, dengan
kemandirian yang tinggi, menjunjung tinggi norma-norma atau nilai-nilai hukum
yang dipatuhi rakyat. Atau merupakan wilayah dalam ruang politik yang menjamin
keberlangsungan perilaku, tindakan dan refleksi madiri, dan tidak terbatasi
kondisi kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan
kelembagaan politik.
3.
Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani berasal
dari kata madinah, dalam peristilahan modern, mengarah kepada semangat dan
pengertian civil society yang berarti
masyarakat yang memiliki sopan santun, beradab dan teratur yang terbentuk dalam
negara yang baik. Di dalam Negara ini terdapat kedaulatan rakyat sebagai
prinsip kemanusiaan dan musyawarah, terdapat partisipasi aktif dari masyarakat
secara aktif dalam proses-proses menentukan kehidupan bersama di bidang
politik, rakyat bersikap terbuka, lapang dada, pengertian dan bersedia untuk
member maaf terhadap permasalahan yang timbul.
4.
Menurut Riswandha Imawan, masyarakat madani adalah
konsep sebuah masyarakat di mana mereka hidup dalam kondisi mampu memiliki etos
kerja untuk meningkatkan kualitas diri dan hidupnya dalam penciptaan
kreativitas mandiri, dimnana Negara tidak dapat mencampuridengan bebas akan
tetapi mereka tetap mematuhi perundangan dan peraturan yang berlaku. Hal ini
berangkat dari keinginan rakyat untuk membangun suatu kesejajaran antara warga
Negara dan Negara yang berlandas pada prinsip saling menghormati dan
menghargai, berkeinginan membangun hubungan konsultatif di antara Negara dengan
rakyatnya, warga mampu bersikap dan berperilaku sebagai warga Negara yang bebas
dan memiliki keterjaminan hak, dimana hak persamaan dan kesetaraan dijunjung
tinggi, memperlakukan semua warga Negara sebagai pemegang hak dan kebebasan
yang sama.
5.
Adi Suryadi Culla, berpendapat bahwa civil society adalah keadaan suatu
masyarakat yang dikelompokkan sehingga membentuk kelompok-kelompok sosial yang
memiliki kekuasaan dan sifat otonom terhadap negara.
6.
Fahmi Huwaydi, berpendapat bahwa masyarakat madani
merupakan simbol bagi realitas yang dipenuhi berbagai control fakultatif, yang
terekspresikan dalam munculnya keberadaan masyarakat, dan mereka menciptakan
berbagai serikat dan lembaga non government sebagai kekuasaan tandingan dari
lembaga yang berkuasa. Diejawantahkan dalam pembentukan berbagai partai,
kelompok, himpunan, ikatan dengan berbagai varian yang tidak memiliki kaitan
dengan struktur kenegaraan.
7.
Ernest Gellner berpendapat bahwa civil society adalah
masyarakat terbangun atas dasar berbagai NEGO (Non Government Organization)
yang bersifat otonom dan tangguh untuk menjadi penetral kekuasaan Negara.
Mereka tidak tersentuh herarki politik, ekonomi, ideology yang tidak mentolerir
adanya kompetisi, bervisi plural dalam memaknai kebenaran dan menentukan
parameter kebenaran secara bersama-sama, terdapat desentralisasi pada segenap
aspek kehidupan, terciptanya tatanan sosial masyarakat yang harmonis, dan bebas
dari segalabentuk ekspoitasi terlebih penindasan, tidak memerlukan penguatan
yang bersifat memaksa, sehingga di sini pemerintah berfungsi sebagai pencipta
dan penjaga perdamaian di antara berbagai kepentingan.
Terdapat lima poin penting dalam civil society, antara lain (Nasiwan,
2012:161):
1.
Partisipasi rakyat, rakyat dalam sebuah masyarakat
madani tidak akan bergantung secara penuh terhadap Negara, akan tetapi ia akan
berupaya meningkatkan kualitas hidup dan dirinya secara mandiri. Mereka lebih
memilih untuk menentukan masa depannya sendiri, bahkan tidak terlalu bergantung
pada segala bentuk program pemerintah yang merupakan sebentuk stimulant bagi
bangkitnya kesadaran swadaya, swasembada rakyat.
2.
Otonom, artinya sebagai masyarakat yang berupaya
memenuhi kebutuhannya sendiri, selalu mngembangkan daya kreatifitas untuk
memperoleh kebahagiaan dan memenuhi tuntutan hidup secara bebas dan mandiri,
dengan tetap mengacu pada perundangan dan hukum yang berlaku.
3.
Tidak bebas nilai, masyarakat madani sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan agar apa yang dikerjakan selalu berada
dalam jalur kebajikan dan menghasilkan dampak positif yang membangun dirinya
(masyarakat) secara umum, yang bersumber pasa sisi-sisi religi, unggah-ungguh yang
berlaku, menjelma dan mengakar dalam budaya masyarakat.
4.
Menjunjung tinggi rasa saling menghargai, menghormati
dan menerima segala bentuk perbedaan (pluralitas), sehingga dalam kedamaian
sosial yang dibangun terpancar keindahan ragam perbedaan yang memperkaya budaya
dan menjadi nilai lebih yang positif, masyarakat madani haruslah meletakan
permasalahan di atas perbedaan, sehingga tidak ditemui pertikaian antar
kelompok yang berbau SARA.
5.
Terwujud dalam badan organisir yang rapi, modern dalam
upaya penciptaan hubungan stabil antar elemen masyarakat.
Berbicara masalah civil society
berarti tidak melupakan transformasi sosial, sebagi manifestasi langkah yang
diambil dan ketertekanan yang mendalam akibat hegemoni yang berkuasa, sehingga
masyarakat berkumpul untuk membentuk kekuasaan tandingan, untuk menuntut suatu keadilan sosial. Langkah ini dianggap sebagai
tanggapan langsung dari arus bawah terhadap rezim yang berkuasa, kemudian
kekuatan sosial yang terbangun atas keluasan gerakan, jaringan dan organisasi dengan
tujuan tertentu. Arus bawah cenderung
memilih langkah frontal untuk merealisasikan cita-citanya terhadap kekuasaan
politis dengan berbagai aksi yang dilancarkan seperti demonstrasi, mogok makan
atau mogok kerja secara kolektif, berbeda lagi dengan langkah yang diambil oleh
para seniman, mereka menyuarakan keresahan melalui kekuatan tulisan mereka
dengan melancarkan berbagai kritik, dan terdapat mereka yang memilih bergerak
dalam wadah LSM. Lalu pendewasaan masyarakat sipil dengan memperkuat wilayah religi
atau gerakan tidak dengan kekerasan agar pemerintah sebagai subjek sekuritas
perdamaian tidak terhalangi dalam melaksanakan kewajibannya (Nasiwan, 2012:
162).
Civil Society sebagai
proyek peradaban dan pembangunan dapat direalisasikan terutama oleh tiga agen
utama, mereka adalah golongan intelektual atau mahasiswa sebagai perubah pada
aspek sosial politik, melalui berbagai ide inovatif kreatif mereka dan
sikap-sikap anti kemapanan, lalu golongan kelas menengah yang akan diposisikan
sebagai modal kekayaan demokratisasi dalam sebuah negara, kemudian golongan
arus bawah, merekalah yang kelak menjadi sumber kekuatan, sekaligus sebagai
sasaran dan tujuan pemberdayaan politik. Selain itu, dibutuhkan adanya
organisasi sosial politik sebagai wadah kelompok kepentingan dengan kemandirian
yang tinggi, dibutuhkan juga public
sphere atau ruang gerak yang memadai untuk rakyat agar memiliki akses pada
lembaga-lembaga administrasi Negara, lembaga peradilan dan perwakilan maupun
NGO (Nasiwan, 2012:162-163).
Peran NGO sebagai lembaga yang tidak menggantungkan diri pada pemerintah,
terutama dalam support capital dan
sarana prasarana, organisasi ini merupakan sebentuk komitmen kepedulian warga
negara terhadap beagai persoalan yang dihadapi rakyat di berbagai aspek. Menurut
Affan Gafar (Nasiwan, 2012: 163), beberapa peran NGO:
1. Katalisasi
perubahan sistem
2.
Mengawasi jalannya sistem penyelenggaraan
negara beserta metode yang digunakan danmelakukan aksi protes pada titik
ekstrem
3. Menjadi
fasilitator dalam rekonsiliasi warga negara dengan lembaga peradilan
4.
Mengimplementasikan program pelayanan
masyarakat
Pada prinsipnya civil society
merupakan cerminan masyarakat yang mandiri dan tidak terikat pada kekuasaan
negara, ketercapaian dibangunnya suatu masyarakat madani dapat dengan masif
dilaksanakan terutama oleh para pelaku NGO, sebagi instrument demokratisasi
yang bergerak semata demi pemberdayaan masyarakat dan redemokratisasi rezim
otoriter yang berkuasa. Akan tetapi peran ini tidak berfungsi tanpa partisipasi
dari bagian lain karena perwujudan demokrasi menurut Huntington merupakan
proses multifaced sehingga melibatkan
banyak elemen (Nasiwan, 2012: 165).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses redemokratisasi adalah implikasi
kekuasaan rezim otoriter pada sistem politik yang berlaku. Dalam gerak
poltisnya rezim otoriter cenderung mengalami transformasi secara fundamental
yang mencakup hal-hal dibawah ini (Nasiwan, 2012: 165):
1.
Timbul berbagai konflik dan pemilahan terhadap
masyarakat sipil
2. Redefinisi
kepercayaan dan kesetaan politik warga negara
3.
Pemberlakuan kebijakan yang pada substansinya
mempersempit ruang gerak kaum buruh dalam serikat-serikatnya
4.
Membatasi wilayah kerja partai politik
5.
Redefinsi kebijakan umum
6.
Melakukan beberapa perubahan mendasar dalam aturan
serta kegiatan pemilu.
Alfred Stephan menawarkan strategi yang dapat
ditempuh untuk meralisasikan redemokratisasi (Nasiwan, 2012: 166) antara lain:
1.
Penjajahan eksternal dan disintegrasi
internal
2.
Transformasi internal dari elite rezim
otoriter kepada rezim demokratis
3.
Kekuatan internal kelompok oposisi yang
mampu menumbangkan rezim otoriter yang mampu berkuasa.
Terdapat empat kelompok strategi yang dibentuk untuk
redemokratisasi, mereka adalah penghentian pemerintahan rezim otoriter dengan
rakyat sebagai pemrakarsa, kemudian pakta yang didirikan oleh partai politik,
lalu pemberontakan terorganisiroleh kaum reformis, dan perang revolusi dalam
pengaruh ideologi marxisme (Nasiwan, 2012: 166).
Atas dasar pengaruh agama secara fundamental terhadap cendekiawan muslim,
yaitu berupa timbulnya kesadaran mengenai pandangan bahwa untuk merealisasikan
aspitrasipolitisnya tidak harus melalui politik formal. Gerakan agama dalam
masyarakat tudak hanya terbatas pada peranan agama sebagai landasan ideologi
politik, kekuasaan Negara atau pun penguasaan politik, akan tetapin ia juga
berperan pada pedoman moral masyarakat dan sumber semangat perwujudan keadilan
sosial dalam civil society. Mengenai perihal civil society sendiri masyarakat muslim telah memiliki konsep civil society jauh sebelum kosnep civil society dicetuskan oleh kalangan
ilmuwan politik Eropa, dalam bentuk senyatanya ketika Rasulullah SAW beserta
para Khurafaur Rasyidin memimpin kehalifahan di Madinah, bahkan istilah civil society sendiri dalam versi
Indonesia menyerap istilah dari bahasa Arab yaitu masyarakat madinah yang
kemudian lebih akrab kita kenal dengan istilah masyarakat madani (Nasiwan,
2012: 167)
Gerakan agama dalam
masyarakat tidak hanya terbatas pada peranan agama sebagai landasan
ideologi politik, kekuasaan negara atau pun penguasaan politik, tetapi ia juga
berperan dalam pedoman dalam pedoman moral masyarakat dan sumber semangat
perwujudan keadilan sosial dan civil
society. Kesadaran yang bersumber pada agama terhadap kehidupan sosial masyarakat
menjadi akar semangat pergerakan yang memilih untuk berkecimpung di wilayah
politik formal, maupun yang memilih untuk bergerak pada social empowerment. Gerakan ini merupakan cerminan bangkitnya
kesadaran sosial dan kritik laten masyarakat pada pengaruh modernitas atas
modernisasi yang berlaku pada masyarakat. Gerakan agama bisa menjelma menjadi
gerakan reformis atau reaksioner. Hal ini disebabkan bila mereka berhasil atau
gagal dalam menerjemahkan persoalan sosial politik serta member solusi sekaligus.
Gerakan reaksioner yang timbul lebih merupakan dampak dari monopoli klaim
kebenaran (Nasiwan, 2012: 167).
Peranan agama dalam pembentukan civil society yakni agama berkemampuan untuk membimbing dan
menyiapkan masyarakat untuk lebih berani berpartisipasi politik, mewujudkan
keadilan sosial, dan bangkit melawan penindasan terhadapnya. Agama juga mampu
menguatkan dan menambah corak varian diskursus dialektis mengenai masyarakat
madani dengan memahamkan hak yang esensinya mengarah pada keadilan sosial dan keterjaminan
HAM, seperti dalam gagasan-gagasan mengenai etika kerja, persamaan hak,
keadilan sosial, kemerdekaan dalam kesantunan dan kepatuhan perundang-undangan
yang berlaku, dengan sumber internal kualitas hubungan transendental individu
(Nasiwan, 2012: 168).
Beberapa sumbangan penting dari pemikiran Islam
sebagai agama yang mengakar dan dianut mayoritas masyarakat Indonesia dalam
membangun civil society (Nasiwan,
2012: 168-169) di antaranya, berupa:
1.
Pemahaman secara mendalam permasalahan
modernirtas dan modernisasi sebagai dampak dari sekulerisasi, ada tiga
pemahaman mengenai sekularisasi antara lain sebagai pembedaan wilayah keagamaan
dengan urusan yang profane sebagai cirri khas dari modernisasi. Dekandensi
keyakinan akan Tuhan den keimanan, lalu yang terakhir adalah memandang dan
memperlakukan agama sebagai urusan pribadi.
2.
Merevitalisasi amal ibadah keagamaan
praktis dalam masyarakat, sebagai panetral sekulerisme yang mengesampingkan
urusan agama secara tegas. Dengan kembali mewacanakan nilai-nilai keislaman yang
berkaitan dengan toleransi, perlindungan HAM, persamaan kedudukan, keadilan,
sikap seimbang yang akan menopang diwujudkannya masyarakat madani dalam
aktualisasi nilai-nilai tersebut.
3.
Partisipasi aktif para intelektual dan
aktivis muda muslim dalam berkontribusi untuk memberdayakan masyarakat.
4.
Memperbesar porsi partisipasi umat islam
dalam civil society di tingkat global.
Beralih pada pokok persoalan dengan cendekiawan sebagai sentra diskursus civil society. Cendekiawan memiliki
peranan strategis sebagai konseptor strategi penguatan civil society dalam pembentukan sosial masyarakat yang juga
melaukan pendekatan transformatif (Nasiwan, 2012: 169).
C. Hubungan antara State (Negara) dengan Civil Society
(Masyarakat Madani)
1. Teori Pola Hubungan Negara dan Masyarakat Dilihat dari
Perspektif Paham Kemajemukan
Menurut
paham ini, fungsi negara adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, yang titik
perhatiannya ditujukan kepada pluralitas yang ada dalam masyarakat. Oleh karena
itu, dalam paham ini tidak ada kaum yang dominan; semua sejajar. Pun, dalam
penyelesaian suatu permasalahan antar kaum acapkali dilakukan upaya-upaya
kompromi, tawarmenawar, membentuk koalisi, pertukaran terbatas dan pertukaran
umum. Di sini, negara berfungsi sebagai fasilisator (Nasiwan, 2012: 169).
Masyarakat
dengan asumsi mereka telah membayar pajak yang digunakan untuk proses kegiatan
pemerintahan maka berhak melakukan pengawasan secara langsung terhadap jalannya
pekerjaan pemerintahan untuk melayani kepentingan dan kebutuhan publik. Dalam
paham ini ditangkap bebrapa poin penting antara lain mengenai kemajemukan di
mana masing-masing varian kepentingan dengan landasan SARA atau pun alasan lain
yang melandasi sekelompok manusia berhimpun atas dasar suatu persamaan,
menciptakan suatu atmosfer yang dipenuhi semangat partisipasi politik tiap
kelompok, sehingga justru posisi negara sebagai pembuat kebijakan terancam
terdiskreditkan dengan desakan berbagai kepentingan yang bila tidak dapat
terakomodir dengan baik akan menimbulkan berbagai manuver yang menyebabkan chaos. Akan tetapi, dengan kondisi di
mana seluruh elemen masyarakat mempercayakan pemrograman akomodasi segala
kepentingan dan kebutuhan dengan adi pada negara, sebenarnya dapat dikatakan
peran negara sangat dominan (Nasiwan, 2012: 169-170).
Dari paham
ini, negara dicita-citakan sebagai
sarana mencapai kesejahteraan hidup, di mana kepemimpinan berada di tangan
banyak elemen yang bervariasi atau berada pada banyak perwakilan sehingga tidak
terjadi kesenjangan kelas sosial, dan diupayakannya secara serius terciptanya
kelas menengah untuk mereduksikan kecenderungan terjadinya konflik yang sangat
besar (Nasiwan, 2012: 170).
Dalam pengertian masyarakat madani,
pola hubungan masyarakat dengan negara, sangat menjunjung eksplorasi potensi
dan aspirasi masyarakat, sehingga akses rakyat kepada negara tidak
terdiskreditkan seperti pada teori Marx. Selain itu, para negarawan yang
menduduki jabatan politis dan menjadi pemerintah secara apresiatif terbuka dalam
menerima segala bentuk aspirasi dan mampu mengolah berbagai kepentingan yang
ditonjolkan lalu mereka akan dengan segera memutuskan dan mengambil beberapa
langkah konkret untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan tersebut yang
terformulasi dalam program-program pemerintahan, sehingga tercipta dan
terakomodirnya kebutuhan masyarakat secara adil dan bijaksana (Nasiwan, 2012:
170).
Di sini
terdapat juga sesuatu dengan istilah elit kekuasaan dan merupakan kritik yang
dikemukakan oleh Mills kepada kaum pluralis, menurut Hunter elit kekuasaan yang
dipahaminya, yaitu negara digerakkan oleh kalangan tertentu, kekuasaan ini
berasal dari hal yang sifatnya didasarkan kepada rasa hormat dan pengaruh
informal pada sekelompok kecil yang memiliki keunngulan dan kualitas SDM dan
menjadi bagian terbaik dari masyarakat, merekalah kaum elit yang mampu meraih
sumber-sumber kekuasaan. Kalum elit ini dengan kualitas superior mereka, justru
semakin memperlebar kelas sosial yang telah ada, dan memarginalisasi kelompok
lain, terutama mereka yang tidak mampu berkontribusi di kancah perpolitikan
dalam skala besar. Mereka adalah kaum minoritas yang secara tidak sengaja tersisih dan terdiskreditkan keberadaannya,
hanya karena tidak memiliki kecakapan dalam memimpin ataupun menjalankan
kontrol politik (Nasiwan, 2012: 171).
Menurut
Michels dalam konsep fikiran masyarakat, mayoritas manusia berwatak apatis,
malas dan berjiwa budak, serta senantiasa tak mampu memaksa dirinya sendiri,
dengan kondisi demikian akan memudahkan kaum elit mengambil berbagai keuntungan
politis, demi menjaga keberlanjutan kekuasaannya, dengan mudah mereka
menggunakan metode pembodohan yang efektif semacam pidato persuasif, yang
bermain di wilayah sentimentil. Terdapat dua tipe kaum elit, yaitu mereka yang
memimpin dengan kelicikan dan mereka yang memimpin dengan cara yang memaksa,
kesemuanya tidak ada yang bersifat positif. Jika suatu masa elit yang sedang
berkuasa kehilangan kemampuan menjalankan fungsi pelayanan terhadap masyarakat
posisinya akan diambil alih oleh kekuatan sosial lain yang juga elit, sehingga
dalam dinamika kehidupan bernegara kaum pluralis memandang bahwa perubahan
adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Nasiwan, 2012: 171).
Yang
merekatkan hubungan antara berbagai kelompok sosial yang tumbuh dan berkembang
serta hubungan mereka dengan negara menurut Eisenstadt, yang mengikat mereka
satu sama lain adalah kehadiran lembaga-lembaga tertentu dan kehadiran
ideologi. Lembaga tersebut yang paling utama adalah lembaga perwakilan, apakah
itu yang namanya partai politik ataupun parlemen, lembaga peradilan, serta
lembaga penyalur aspirasi yang lain seperti media massa, di mana informasi
politik yang relevan dan penting dapat disebarluaskan kepada khalayak. Yang
paling penting diperhatikan adalah, lembaga-lembaga tersebut harus terlepas
dari dominasi negara, atau sekelompok orang tertentu, atau kelas tertentu, dan
pada gilirannya lembaga-lembaga ini mampu meningkatkan derajat akontabilitas
pejabat negara atau penguasa (Afan Gaffar, 2006: 184).
Masalah yang
berkaitan dengan ras, etnisitas, agama,
ideologi, dan lain-lain, atau apa yang kita namakan sebagai identitas
kebersamaan, merupakan faktor yang harus selalu dipertimbangkan dalam mengamati
derajat keberadaan civil society dalam sebuah negara (Afan Gaffar, 2006: 185).
2. Teoritisasi Interplay Proses Kointegrasi Indonesia
dengan Struktur Religio-politik Islam
Krisis
multidimensi yang menimpa bangsa Indonesia semenjak medio 1997 sampai 2003 yang
sudah berlangsung lima tahun memberikan inspirasi serta menghentakkan kesadaran
intelektual untuk menanyakan lebih mendalam, tajam, sekaligus kritis tentang
suatu persoalan yang sangat mendasar yakni tentang eksistensi negara Indonesia,
inheren di dalamnya bangnan politik Indonesia sebagai suatu nation state (Nasiwan, 2012: 174).
Urgensi
untuk hadirnya pemikiran alternatif berupa perspektif teori yang orisinal
mengingat seiring dengan berhembusnya era globalisasi yang dimulai pada akhir
abad ke-20 yang membuat dunia mengalami perubahan besar-besaran dan
fundamental, melingkupi bangunan politik negara, bahkan sampai muncul ungkapan
bahwa era globalisasi adalah merupakan “the
end of the nation-state”. Oleh karenanya, merupakan tuntutan yang mutlak
upaya pencerdasan dan pencerahan bangsa di Indonesia. Hal demikian terjadi karena
sejak 40 tahun lebih bangsa Indonesia dalam masalah pencerdasan otak sebagai
dimensi kognitif sudah lama tercemar oleh budaya politik yang serba hegemonik
dan otoritarian. Akibatnya sangat parah, otak manusia Indonesia telah menjadi
tawanan kepentingan politik sesaat melelui berbagai bentuk indoktrinasi yang
melelahkan dan akhirnya melumpuhkan. Hanya sedikit orang Indonesia yang mampu
mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan kreatifnya (Nasiwan, 2012: 175-176).
Bangunan
politik Indonesia hingga awal abad ke-21 belum menunjukkan sebagai sebuah
bangunan politik yang mendapatkan dan memiliki dukungan dari basis-basis nilai
yang hidup dan berkembang di Indonesia. Bangunan politk yang secara resmi
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bahan-bahan bakunya tidak dapat dilepaskan
dari tiga unsur dasar yakni: pertama,
peradaban asli (indegenous) Indonesia mulai goyah, belum mendapatkan tempat
berpijak yang kokoh; kedua, pengaruh
peradaban Islam; ketiga, pengaruh
peradaban Barat yang hadir melalui penjajahan (Nasiwan, 2012: 176).
Strukur
sosial politik masyarakat Indonesia setelah mengalami perkawinan dengan
pengaruh Barat yang dipaksakan melalui proses kolonialisasi perkembangannya
mengalami keterputusan rantai sejarah peradaban, termasuk musnahnya
negara-negara pribumi dan akhirnya mengidap kelemahan mendasar yaitu memiliki
jarak dengan budaya asli Indonesia, termasuk di dalamnya juga bangunan politik
Indonesia yang lebih terasa tipikalnya sebagai barang impor. Mungkin tidak
berlebihan jika kondisi negara Indonesia yang demikian sampai hari ini
dilukiskan sebagai the floating state
(Nasiwan, 2012: 177).
Ketercerabutan
bangunan politik Indonesia secara menonjol ditandai oleh tiga karakter yang
saling memotong, yaitu: pertama,
adanya penolakan dari sebagian kalangan bangsa Indonesia baik secara
terang-terangan maupun terselubung terhadap kehadiran wajah Indonesia yang
sekuler (nation state). Kedua, penolakan terhadap khazanah
tradisi politik yang diambil dari Indonesia atau yang dianggap berasal dari
Indonesia untuk dijadikan model bagi bangunan politik Indonesia. Ketiga, bahwa sebagian warga bangsa
Indonesia juga menolak model bangunan politik Indonesia yang berasal dari
Islam, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah Indonesia (Nasiwan, 2012:
178).
Kondisi-kondisi
yang sudah disebutkan di atas dalam perjalanannya telah membawa Indonesia
mengalami stagnasi. Bangunan politik dan dan perangkatnya menjadi tidak berdaya
untuk menggerakkan bangsa Indonesia kea rah kehidupan bangsa yang jaya, makmur
dan stabil (Nasiwan, 2012: 175).
Sebuah
kerja intelektual untuk melakukan teoritisasi tentang negara Indonesia sebagai nation state dari floating state menuju Indonesia Baru, menurut Nasiwan (2012: 180)
memiliki makna yang sangat strategis dalam ikut serta memecahkan persoalan yang
sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia untuk dapat keluar dari krisis
multidimensi.
a. Wacana Teoritisasi Floating State
Kajian
tentang teoritisasi ini dengan mengambil topic “Teoritisasi Bangunan Politik
Indonesia, dari Floating State menuju Bangunan Indonesia Baru: Suatu Kajian
tentang Proses Integrasi Negara Indonesia dengan Struktur Religio-Politik Islam
dan Politik Lokal 1945-2004” termasuk dalam lingkup riset bidang ilmu politik,
sosiologi agama, dan sejarah Islam (Nasiwan, 2012: 180).
Titik tekan kajian ini untuk
mengembangkan konstruksi teoritis yang orisinal serta memiliki kemampuan untuk
memahami dan menjelaskan berbagai fenomena kemasyarakatan dan kemanusiaan yang
berkembang khususnya di Indonesia. Dalam konteks kajian ini yakni suatu
konstruksi teoritis orisinal di bidang ilmu politik, akan berkaitan dengan
kajian yang mengambil objek matter
negara. Pengambilan objek tersebut terinspirasi oleh adanya fenomena bahwa
semenjak bergulirnya era Reformasi yang telah memposisikan negara dalam keadaan
lemah, bahkan terapung “floating state”.
Lebih dari itu, negara telah dan sedang mendapatkan resistensi dari berbagai
kekuatan politik local,kekuatan politik lama (sisa kerajaan), kekuatan adat,
kekuatan politik yang bersumber pada struktur religio-politik (Nasiwan,
2012:180).
b. Indonesia: Floating
State
Kerangka
teoritis mengapa Indonesia mengalami floating
state dapat dihampiri dari dua hal penting: pertama, problem institusional yang dialami oleh negara Indonesia
dalam proses menjadi Indonesia.untuk keperluan tersebut dapat dilakukan melalui
pelacakan dan pembacaan ulang sejarah proses terbentuknya negara Indonesia
secara kritis. Kedua, dengan mencermati tahapan-tahapan integrasi negara
Indonesia dengan elemen-elemen lain yang memepengaruhi eksistensi negara
Indonesia. Dalam konteks proses integrasi tersebut masih jauh dari selesai
(Nasiwan, 2012: 188-189).
Model
penghampiran yang pertama, melalui institusionalisme diuraikan dalam paparan
berikut ini. Kerangka teoritis yang diajukan untuk menjadi pijakan dalam
pembahasan permasalahan yang kedua tentang model tahap-tahap integrasi negara
Indonesia dengan struktur religio-politik Islam. Jika dilihat dari perkembangan
pembentukan struktur sosial di Indonesia sebelum Indonesia diproklamasikan pada
17 Agustus 1945. Hal tersebut adalah struktur sosial masyarakat Indonesia yang
mendapatkan pengaruh dari ajaran Islam seperti Demak, Mataram Islam, Kerajaan
Banten, partai-partai Islam seperti Masyumi, Ormas Islam seperti Muhammadiyah,
NU, yang semuanya itu sudah ada dan hidup sebelum Indonesia yang berupa negara
kebangsaan diproklamirkan. Baru kemudian mulai awal abad ke-20 timbul gerakan
kemerdekaan yang mendasarkan gerakannya pada ideology nasionalisme yang
kemudian terlembaga dalam bentuk partai politik yang beraliran nasionalis
seperti PNI, Gerindo, dan Perhimpunan Indonesia (Nasiwan, 2012: 189).
Kerangka
teoritis, tentang model integrasi antara negara nasional dengan struktur
religio-politik Islam. Model-model integrasi negara dengan struktur
religio-politik ada beberapa model sebagai berikut; model pertama, negara
mendominasi struktur religio-politik Islam, posisi struktur religio-politik
Islam hanya menjadi subsistem dari sistem politiknasional. Model seperti ini
membuka peluang perasaan tidak puasa dan termarginalkan. Hal tersebut secara
akumulatif memberikan kemungkinan munculnya pembangkangan atau apatisme politik.
Model integrasi politik dengan posisi negara mendominasi secara bertahap
mereduksi pengaruh struktur religio-politik Islam dari struktur negara
Indonesia, sebagaimana telah terbukti gagal melalui eksperimen politik politik
pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Model integrasi politik
sebagimana yang dikemukakan memiliki kelemahan mendasar untuk diterapkam bagi
rekonstruksi bangunan politik ala Indonesia Baru. Hal tersebut dikarenakan
adanya bias perspektif teori yang diimpor dari perspektif teori politik Barat
yang ternyata tidak memiliki kompabilitas dengan kehidupan politik di Indonesia
(Naiswan, 2012: 193-194).
Model kedua,
integrasi struktur religio-politik dengan posisi Islam yang mendominasi negara
nasional, model ini untuk kasus Indonesia belum bisa diterima oleh sebagan
intern kalangan Islam maupun kalangan non-Islam. Eksperimen model seperti ini
akan membutuhkan suatu perubahan yang sangat mendasar. Pada struktur politik
Indonesia yang yang berarti pula membutuhkan suatu revolusi sebagaimana terjadi
di negara seperti India yang kemudian terpecah menjadi Pakistan dan Bangladesh.
Untuk konteks Indonesia model integrasi dengan posisi Islam yang lebih
mendominasi berdasarkan pengalaman politik dalam sidang-sidang BPUPKI, PPKI,
dan sidang-sidang Konstituante serta dukungan publik masyarakat Indonesia
sebagaimana tercermin dalam hasil Pemilu 1999, dapat dibaca bahwa arus utama
aspirasi politik di Indonesia belum bisa menerima model tersebut (Nasiwan,
2012: 194)
Model
ketiga, antara kekuatan Islam dan negara sama-sama melakukan proses moderasi.
Pada awalnya proses integrasi itu merupakan hasil inisiatif negara yang
diwakili oleh pemerintah Indonesia sampai titik tertentu sampai ada
keseimbangan yang harmonis untuk membangun consensus yang lebih permanen.
Setelah tahap ini dilampau, maka peluang struktur religio-politik Islam untuk
melakukan integrasi pada struktur politik nasional yang berangkat dari
kesadaran rasional yang ekuivalen juga dengan keyakinan agamanya ada peluang
terwujud. Setelah melampaui dua tahap ini, maka peluang untuk muncul proses
moderasi resiprokal antara struktur religio-politik dan struktur politik
nasional untuk melahirkan suatu bangnan politik Indonesia Baru yang
mendapatkandukungan serta tempa berpijak dari nilai-nilai yang hidup pada hati
kesadaran bangsa Indonesia secara bertahap dapat direalisasikan (Nasiwan, 2012:
194-195).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara
merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari
kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency)
dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat (Miriam Budiardjo, 2010: 47).
Jadi civil society dapat dipahami sebagai
sebuah ruang (space) sebuah negara,
di mana di dalamnya hidup sekelompok individu dengan semangat toleransi yang
tinggi dalam jalinan komunikasi dan interaksi yang sehat, serta terwujudnya
partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan public (Nasiwan,
2012:157).
Yang
merekatkan hubungan antara berbagai kelompok sosial yang tumbuh dan berkembang
serta hubungan mereka dengan negara menurut Eisenstadt, yang mengikat mereka
satu sama lain adalah kehadiran lembaga-lembaga tertentu dan kehadiran ideologi
(Afan Gaffar, 2006: 184).
B. Kritik dan Saran
Tentunya
makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu penyusun mengharapkan kritikdan
saran yang membangun dari pembaca
perbaikan makalah ini da makalah-makalah selanjutnya sehingga bias dapat
diminimalisir.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Daud Busroh . 2009. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Akasara. Cetakan ke-enam.
Afan Gaffar. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cetakan keenam.
Cholisin.2013. Ilmu
Kewarganegaraan. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Ekram Pawiroputro. 2007. Diktat: Pengantar Hukum Internasional.
Yogyakarta:____.
Nasiwan, 2012. Teori-Teori
Poiltik. Yogyakarta: Ombak.
Miriam Budiardjo. 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Sugeng Istianto. 2014. Hukum Intenasional. Yogyakarta:Penerbit
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sunarso dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan PKN untuk
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar